SYARAH HADITS JIBRIL TENTANG ISLAM, IMAN DAN IHSAN
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضًا قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ
جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ذَاتَ
يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ
سَوَادِ الشَّعْرِ, لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ
مِنَّا أَحَدٌ, حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم, فأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ, وَوَضَعَ كَفَّيْهِ
عَلَى فَخِذَيْهِ, وَ قَالَ : يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ
الإِسْلاَمِ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم :
اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَإِ لَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ, وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ,
وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ, وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ
سَبِيْلاً. قَالَ : صَدَقْتُ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْئَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ.
قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ, قَالَ : أَنْ بِاللهِ,
وَمَلاَئِكَتِهِ, وَكُتُبِهِ, وَرُسُلِهِ, وَالْيَوْمِ الآخِرِ, وَ
تُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ. قَالَ : صَدَقْتَ. قَالَ :
فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ, قَالَ : أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ
تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ :
فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ قَالَ : مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا
بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِهَا,
قَالَ : أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا, وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ
الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِيْ
الْبُنْيَانِ, ثم اَنْطَلَقَ, فَلَبِثْتُ مَلِيًّا, ثُمَّ قَالَ : يَا
عُمَرُ, أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِل؟ قُلْتُ : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ
أَعْلَمُ. قَالَ : فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ
دِيْنَكُمْ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkata :
Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”.
Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.”
Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Lelaki itu berkata lagi : “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?”
Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”
Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”
Nabi menjawab,”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku : “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?”
Aku menjawab,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” [HR Muslim, no. 8] [1]
Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.
Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”.
Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.”
Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan”.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Lelaki itu berkata lagi : “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?”
Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”
Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”
Nabi menjawab,”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”
Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku : “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?”
Aku menjawab,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.” [HR Muslim, no. 8] [1]
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini secara lengkap diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 8, dan diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad (I/27,28,51,52), Abu Dawud (no. 4695), at Tirmidzi (no.2610), an Nasaa-i (VIII/97), Ibnu Majah (no. 63), Ibnu Mandah dalam al Iman (1,14), ath Thoyalisi (no. 21), Ibnu Hibban (168,173), al Aajurri dalam asy Syari’ah (II/no.205, 206, 207, 208), Abu Ya’la (242), al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no.2), al Marwazi dalam Ta’zhim Qadris Shalat (no.363-367), ‘Abdullah bin Ahmad dalam as Sunnah (no.901,908), al Bukhari dalam Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (190), Ibnu Khuzaimah (no.2504) dari sahabat Ibnu ‘Umar dari bapaknya ‘Umar bin Khaththab.
Hadits ini secara lengkap diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 8, dan diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad (I/27,28,51,52), Abu Dawud (no. 4695), at Tirmidzi (no.2610), an Nasaa-i (VIII/97), Ibnu Majah (no. 63), Ibnu Mandah dalam al Iman (1,14), ath Thoyalisi (no. 21), Ibnu Hibban (168,173), al Aajurri dalam asy Syari’ah (II/no.205, 206, 207, 208), Abu Ya’la (242), al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no.2), al Marwazi dalam Ta’zhim Qadris Shalat (no.363-367), ‘Abdullah bin Ahmad dalam as Sunnah (no.901,908), al Bukhari dalam Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (190), Ibnu Khuzaimah (no.2504) dari sahabat Ibnu ‘Umar dari bapaknya ‘Umar bin Khaththab.
Hadits ini mempunyai syawahid (penguat) dari lima orang sahabat.
Mereka disebutkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani dalam Fathul
Baari (I/115-116), yaitu :
– Abu Dzar al Ghifari (HR Abu Dawud dan Nasaa-i).
– Ibnu ‘Umar (HR Ahmad, Thabrani, Abu Nu’aim).
– Anas (HR Bukhari dalam kitab Khalqu Af’aalil Ibaad).
– Jarir bin ‘Abdullah al Bajali (HR Abu ‘Awanah).
– Ibnu ‘Abbas dan Abu Amir al ‘Asy’ari (HR Ahmad, sanadnya hasan)
– Abu Dzar al Ghifari (HR Abu Dawud dan Nasaa-i).
– Ibnu ‘Umar (HR Ahmad, Thabrani, Abu Nu’aim).
– Anas (HR Bukhari dalam kitab Khalqu Af’aalil Ibaad).
– Jarir bin ‘Abdullah al Bajali (HR Abu ‘Awanah).
– Ibnu ‘Abbas dan Abu Amir al ‘Asy’ari (HR Ahmad, sanadnya hasan)
URGENSI HADITS
Qadhi ‘Iyaadh (wafat th. 544 H) berkata : “Hadits ini mencakup penjelasan semua amal ibadah yang zhahir maupun bathin, di antaranya ikatan iman, perbuatan anggota badan, keikhlasan, menjaga diri dari perusak-perusak amal. Bahkan ilmu-ilmu syari’at, semuanya kembali kepada hadits ini dan merupakan pecahannya”.
Qadhi ‘Iyaadh (wafat th. 544 H) berkata : “Hadits ini mencakup penjelasan semua amal ibadah yang zhahir maupun bathin, di antaranya ikatan iman, perbuatan anggota badan, keikhlasan, menjaga diri dari perusak-perusak amal. Bahkan ilmu-ilmu syari’at, semuanya kembali kepada hadits ini dan merupakan pecahannya”.
Beliau melanjutkan: “Atas dasar hadits ini dan ketiga macamnya, aku
menulis kitab yang aku namakan al Maqooshid al Hisaan fii ma Yalzamul
Insaan. Karena tidak menyimpang dari yang wajib, sunnah, anjuran,
peringatan, makruh dari ketiga macamnya. Wallahu a’lam. [Syarah Shahih
Muslim I/158].
Imam Nawawi (wafat th. 676 H) berkata,”Ketahuilah, bahwa hadits ini
menghimpun berbagai macam ilmu, pengetahuan, adab, dan kelemah-lembutan.
Bahkan hadits ini merupakan pokok Islam, seperti yang kami riwayatkan
dari Qadhi ‘Iyaadh. [Ibid. I/160].
Imam al Qurthubi (wafat th. 671 H) berkata,”Hadits ini layak disebut
sebagai Ummus Sunnah (induk hadits), karena mengandung ilmu hadits.”
[Fathul Baari I/125].
Ibnu Daqiq al ‘Id (wafat th. 702 H) berkata,”Hadits ini seakan
menjadi induk bagi sunnah, sebagaimana al Fatihah dinamakan Ummul
Qur`an, karena ia mencakup seluruh nilai-nilai yang ada dalam al
Qur`an.” [Syarah Arba’in an Nawawiyyah, hlm. 31, oleh Ibnu Daqiq al
‘Id].
Ibnu Rajab (wafat th. 795 H) berkata,”Ini merupakan hadits yang
agung, mencakup semua penjelasan agama. Karenanya, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata di akhir hadits ‘ia adalah Jibril yang datang
untuk mengajarkan tentang agama kalian’ setelah menjelaskan kedudukan
Islam, kedudukan iman, kedudukan ihsan. Dan menjadikan semua itu agama.”
[Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam I/97].
RIWAYAT LENGKAP HADITS INI DALAM SHAHIH MUSLIM
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Yahya bin Ya’mur [1], ia berkata: “Dahulu, yang pertama kali berbicara tentang Qadar di Bashrah adalah Ma’bad al Juhani [2], maka aku (Yahya bin Ya’mur) berangkat bersama Humaid bin Abdurrahman al Himyari untuk melaksanakan haji atau umroh. Kami berkata: “Kalau kita bertemu salah seorang dari sahabat Nabi, maka kita akan bertanya kepadanya tentang orang-orang yang berbicara masalah qodar. Kemudian kami melihat ‘Abdullah bin ‘Umar masuk ke dalam masjid. Maka aku dan sahabatku menggandeng tangannya satu di kanan yang lain di kiri. Aku mengira sahabatku menyerahkan pembicaraan kepadaku, maka aku berkata: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, sesungguhnya telah muncul di kalangan kami orang yang membaca Al-Qur’an dan menuntut ilmu -lalu dia menyebutkan perkara mereka- sesungguhnya ini adalah sesuatu yang baru.” Ibnu Umar berkata: “kalau engkau bertemu dengan mereka beritahukan bahwa Ibnu Umar berlepas diri dari mereka dan mereka juga berlepas diri dari aku. Demi Allah kalau seandainya salah seorang dari mereka infak sebesar gunung Uhud emas, Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada qodar. Kemudian dia (Ibnu Umar) berkata: ‘Bapakku ‘Umar bin Khattab menceritakan kepadaku …….. lalu dia menyebutkan hadits di atas.”
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Yahya bin Ya’mur [1], ia berkata: “Dahulu, yang pertama kali berbicara tentang Qadar di Bashrah adalah Ma’bad al Juhani [2], maka aku (Yahya bin Ya’mur) berangkat bersama Humaid bin Abdurrahman al Himyari untuk melaksanakan haji atau umroh. Kami berkata: “Kalau kita bertemu salah seorang dari sahabat Nabi, maka kita akan bertanya kepadanya tentang orang-orang yang berbicara masalah qodar. Kemudian kami melihat ‘Abdullah bin ‘Umar masuk ke dalam masjid. Maka aku dan sahabatku menggandeng tangannya satu di kanan yang lain di kiri. Aku mengira sahabatku menyerahkan pembicaraan kepadaku, maka aku berkata: “Wahai Abu ‘Abdirrahman, sesungguhnya telah muncul di kalangan kami orang yang membaca Al-Qur’an dan menuntut ilmu -lalu dia menyebutkan perkara mereka- sesungguhnya ini adalah sesuatu yang baru.” Ibnu Umar berkata: “kalau engkau bertemu dengan mereka beritahukan bahwa Ibnu Umar berlepas diri dari mereka dan mereka juga berlepas diri dari aku. Demi Allah kalau seandainya salah seorang dari mereka infak sebesar gunung Uhud emas, Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada qodar. Kemudian dia (Ibnu Umar) berkata: ‘Bapakku ‘Umar bin Khattab menceritakan kepadaku …….. lalu dia menyebutkan hadits di atas.”
Dalam kisah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebelum dibawakan
hadits ini oleh Yahya bin Ya’mur dan Humaid bin Abdurrahman al Himyary,
ada beberapa faedah yang bermanfaat, yaitu:
1. Bid’ah pertama kali tentang peniadaan qadar, timbul di Bashrah
pada masa sahabat yaitu ‘Abdullah bin ‘Umar, beliau wafat tahun 73 H.
2. Para tabi’in selalu bertanya kepada para sahabat untuk mengetahui
hukum dari perkara-perkara yang musykil, baik yang berkaitan dengan
masalah aqidah maupun yang lainnya. Hal ini adalah wajib atas setiap
muslim untuk mengembalikan urusan agama mereka kepada para ulama. Firman
Allah l :
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada ahludz dzikr (ahli ilmu/ ulama) jika kamu tidak mengetahui.” [an Nahl:43]
3. Disunnahkan bagi seluruh kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji
dan umrah agar mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk mempelajari
agama Islam dan memperdalamnya serta bertanya kepada para ulama yang ada
di Mekkah dan Madinah untuk mengetahui hukum-hukum agama yang belum
mereka ketahui. Sebagaimana yang dilakukan Yahya bin Ya’mur, Humaid bin
‘Abdurrahman al Himyari dan Yazid al Faqir.
Dari Yazid al Faqir dia berkata, “Saya pernah tertarik oleh suatu
pendapat kaum khawarij, lalu kami keluar dalam satu kelompok yang
berjumlah banyak, karena kami ingin melaksanakan ibadah haji kemudian
kami keluar ke tengah orang banyak.” Yazid berkata, “Kemudian kami
melewati kota Madinah. Tiba-tiba ada Jabir bin ‘Abdullah sedang
membicarakan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
suatu kaum dengan duduk bersama satu kafilah.” Yazid berkata, “kemudian
Jabir bin Abdillah menyebutkan penghuni-penghuni jahannam.” Saya berkata
kepada Jabir bin ‘Abdullah, “Wahai sahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam ! apa yang kamu bicarakan ini? Sedangkan Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Sesungguhnya orang yang engkau masukkan
ke dalam neraka maka sungguh engkau telah hinakan dia.’(ali Imran:192)
dan firmanNya lagi, ‘Setiap kali para penghuni neraka itu ingin keluar
dari neraka maka mereka itu selalu dilemparkan kembali ke dalamnya.’(as
Sajadah:20). Lalu apa yang kalian katakan itu?”
Jabir bertanya, “Sudahkah kamu membaca al Qur’an? Pernahkah kamu
mendengar tentang kedudukan nabi Muhammad yang akan diangkat oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala ? Saya menjawab, ‘ya sudah pernah’ Jabir berkata,
“Itulah kedudukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia,
yang dengan itu Allah mengeluarkan orang dari neraka yang beliau
kehendaki.”
Kemudian Jabir bin ‘Abdullah menjelaskan letak as Shirath dan
bagaimana manusia melintas di atasnya. Hanya saja Jabir mengatakan bahwa
ada satu kaum yang keluar dari neraka setelah mereka berada didalamnya.
Yakni mereka keluar dengan jasad bagaikan biji kurma yang baru dijerang
di matahari. Kemudian mereka masuk dalam salah satu telaga surga,
kemudian mereka mandi dan keluar sebersih selembar kertas.
Kemudian kami pulang dan mengatakan, “Celakalah kamu sekalian! Apakah
kalian menganggap seorang syaikh (Jabir bin Abdullah) membuat
kebohongan terhadap Rasulullah?” maka kami terus pulang. Sungguh demi
Allah tidaklah ada yang keluar dari kelompok kami kecuali hanya seorang.
Demikianlah sebagaimana riwayat yang disampaikan oleh Abu Nu’aim”. Abu
Nu’aim adalah Fadl bin Dukain, beliau salah seorang perawi hadits ini
[Syarah shahih muslim oleh Imam an Nawawi III/50-52]
Rombongan ini datang untuk menunaikan ibadah haji mereka mempunyai
pemahaman yang salah, yaitu orang-orang yang berbuat dosa besar tidak
keluar dari neraka. Mereka membawakan ayat-ayat yang turun untuk orang
kafir dikenakan kepada kaum Muslimin dan pemahaman ini adalah pemahaman
Khawarij.
Ibnu ‘Umar memandang bahwa Khawarij adalah sejelek-jelek makhluk
Allah, ia berkata “Mereka membawakan ayat-ayat yang turun kepada
orang-orang kafir dikenakan kepada kaum mukminin.” [Fathul Baari
XII/282]
Di dalam kisah ini menunjukkan bahwa syaithan menyesatkan manusia
dengan dua cara; Pertama, orang-orang yang lalai dan berpaling dari
keta’atan dihiasi dengan syahwat kedua, orang-orang yang taat dan ahli
ibadah, syetan menyesatkan mereka dengan cara ghuluw (berlebih-lebihan)
dan melemparkan syubhat kepada mereka. (syarah hadits jibril hal.12)
Imam Ibnul Qayyim berkata bahwa hati manusia dirusak oleh fitnah syahwat
dan fitnah syubhat.[3]
Kedua fitnah ini sangat berbahaya bagi manusia.
Kedua fitnah ini sangat berbahaya bagi manusia.
KANDUNGAN HADITS JIBRIL
Dari penjelasan tentang urgensi hadits ini, kita dapat mengambil faidah di antaranya :
Dari penjelasan tentang urgensi hadits ini, kita dapat mengambil faidah di antaranya :
1. Menunjukkan tentang pentingnya majelis ilmu.
Karena, itu setiap ulama dianjurkan mengadakan majelis ilmu yang ditentukan waktunya, setiap sepekan sekali atau dua kali, supaya mereka tidak bosan. [4]
Karena, itu setiap ulama dianjurkan mengadakan majelis ilmu yang ditentukan waktunya, setiap sepekan sekali atau dua kali, supaya mereka tidak bosan. [4]
2. Memperbaiki pakaian dan penampilan.
Ketika hendak masuk masjid dan akan menghadiri majelis ilmu, disunnahkan memakai pakaian yang rapi, bersih dan memakai minyak wangi. Bersikap baik dan sopan di majelis ilmu dan di hadapan para ulama adalah perilaku yang sangat baik, karena Jibril saja datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penampilan dan sikap yang baik.
Ketika hendak masuk masjid dan akan menghadiri majelis ilmu, disunnahkan memakai pakaian yang rapi, bersih dan memakai minyak wangi. Bersikap baik dan sopan di majelis ilmu dan di hadapan para ulama adalah perilaku yang sangat baik, karena Jibril saja datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penampilan dan sikap yang baik.
3. Defenisi Islam
Secara etimologi, Islam berarti tunduk dan menyerah sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla. Adapun secara terminology, disebutkan :
Secara etimologi, Islam berarti tunduk dan menyerah sepenuhnya kepada Allah Azza wa Jalla. Adapun secara terminology, disebutkan :
الإِ سلامُ: اَلإِستِسلاَمُ للهِ بِالتَوحَيدِ وَاالإِنقِياَدُ لَهُ بِالطَّاعَةِ وَالبَرَاءَةُ مِنَ الشِّركِ وَأَهلِه
Islam adalah patuh dan tunduk kepada Allah dengan cara mentauhidkan,
mentaati dan membebaskan diri dari kemusyrikan dan ahli syirik. [5]
الإسلام والاستسلام , menurut bahasa artinya الإنقياد . Yaitu patuh
dan tunduk. Sedangkan menurut syari’at, yaitu menampakkan ketundukan dan
memperlihatkan syari’at serta berpegang teguh dengan yang dibawa oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan hal tersebut,
terpelihara dan tercegahlah darah dari segala yang dibenci.
Dalam hadits di atas, kekasih Rabb semesta alam ‘alaihish shalatu
wassalam mendefinisikan Islam dengan amalan-amalan anggota badan yang
tampak. Yaitu berupa perkataan dan perbuatan. Mengucapkan dua kalimat
syahadat adalah perbuatan lisan. Shalat dan puasa adalah perbuatan badan
(tubuh). Zakat harta adalah amalan pada harta, dan haji adalah amalan
pada badan dan harta.
Islam adalah agama yang dilandaskan atas lima dasar, yaitu :
a. Mengucapkan dua kalimat syahadat ( أشْهَدُ أن لاإِله إِلاَّالله وَأَشهَدُأَنَّ مُحَمَّدًارَسُولُ الله), artinya : Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan Aku bersaksi bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam utusan Allah.
b. Menunaikan shalat wajib pada waktunya, dengan memenuhi syarat, rukun dan memperhatikan adab dan hal-hal yang sunnah.
c. Mengeluarkan zakat.
d. Puasa pada bulan Ramadhan.
e. Haji sekali seumur hidup bagi yang mampu, mempunyai biaya untuk pergi ke tanah suci dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan.
a. Mengucapkan dua kalimat syahadat ( أشْهَدُ أن لاإِله إِلاَّالله وَأَشهَدُأَنَّ مُحَمَّدًارَسُولُ الله), artinya : Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan Aku bersaksi bahwasanya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam utusan Allah.
b. Menunaikan shalat wajib pada waktunya, dengan memenuhi syarat, rukun dan memperhatikan adab dan hal-hal yang sunnah.
c. Mengeluarkan zakat.
d. Puasa pada bulan Ramadhan.
e. Haji sekali seumur hidup bagi yang mampu, mempunyai biaya untuk pergi ke tanah suci dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan.
4. Definisi Iman [6].
Iman adalah at tashdiq, yaitu pengakuan dan pembenaran.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan iman dalam hadits ini sebagai keyakinan yang ada dalam batin. Dan Ahlus Sunnah berkeyakinan, iman adalah perkataan, perbuatan, dan niat (kehendak hati). Dan sesungguhnya, amal perbuatan termasuk ke dalam nama iman.
Iman adalah at tashdiq, yaitu pengakuan dan pembenaran.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan iman dalam hadits ini sebagai keyakinan yang ada dalam batin. Dan Ahlus Sunnah berkeyakinan, iman adalah perkataan, perbuatan, dan niat (kehendak hati). Dan sesungguhnya, amal perbuatan termasuk ke dalam nama iman.
• Islam dan Iman.
Melalui penjelasan di atas, maka kita pahami, Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda, baik secara etimologi maupun secara terminologi. Pada dasarnya, jika berbeda nama, tentu berbeda makna. Meskipun demikian, tidak jarang dipergunakan dengan arti yang sama, yaitu Islam berarti Iman, dan sebaliknya. Keduanya saling melengkapi. Iman menjadi sia-sia tanpa Islam, dan demikian juga sebaliknya.
Melalui penjelasan di atas, maka kita pahami, Iman dan Islam adalah dua hal yang berbeda, baik secara etimologi maupun secara terminologi. Pada dasarnya, jika berbeda nama, tentu berbeda makna. Meskipun demikian, tidak jarang dipergunakan dengan arti yang sama, yaitu Islam berarti Iman, dan sebaliknya. Keduanya saling melengkapi. Iman menjadi sia-sia tanpa Islam, dan demikian juga sebaliknya.
Apabila nama keduanya dipisah, maka yang lain masuk ke dalam
(pengertian)nya, dan menunjukkan pada apa yang ditunjukkan oleh yang
lain ketika berdiri sendiri. Apabila keduanya digabungkan, maka salah
satunya menunjukkan kepada sesuatu bila berdiri sendiri. Jika dalam satu
nash dihubungkan antara Iman dan Islam, maka masing-masing mempunyai
pengertian yang berbeda. Sehingga definisi iman adalah, pembenaran hati
disertai penetapan dan pengetahuannya. Dan pengertian Islam ialah
berserah diri kepada Allah, tunduk dan patuh kepadaNya dengan amal
perbuatan.
• Merupakan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah bahwasanya amal termasuk ke dalam iman.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ
وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
Iman memiliki tujuh puluh cabang lebih. Yang paling utama ialah
ucapan Laa ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan
gangguan dari jalan. Dan malu termasuk cabang dari iman. [7]
Menyingkirkan gangguan merupakan perbuatan dan beliau n memasukkannya ke dalam iman.
• Di antara aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah keyakinan mereka, bahwa iman dapat bertambah dan berkurang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ
…supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)… [al Fath : 4].
Ibnu Baththal rahimahullah berkata : “Apabila dikatakan ‘iman secara
bahasa adalah pembenaran’, maka jawabnya, adalah ‘sesungguhnya
pembenaran akan sempurna dengan berbagai ketaatan seluruhnya. Tidaklah
seorang mu’min bertambah amal kebaikannya, melainkan imannya menjadi
lebih sempurna’.
Dengan pernyataan ini -pembenaran akan sempurna dengan ketaatan-,
(maka) iman akan bertambah. Dan dengan berkurangnya pernyataan tersebut,
maka iman pun berkurang. Kapan saja berkurang amal kebaikan, maka
berkurang pula kesempurnaan iman. Kapan saja bertambah amal kebaikan,
maka bertambah pula kesempurnaannya. Inilah perkataan pertengahan dalam
masalah iman”. [8]
• Keutamaan orang mukmin bertingkat-tingkat.
Keimanan orang-orang shiddiq yang menjadikan sesuatu yang ghaib bagi mereka seperti sesuatu yang tampak, tidak sama dengan orang-orang yang belum mencapai tingkatan ini. Termasuk di antaranya perkataan sebagian ulama : “Tidaklah Abu Bakar mendahului kalian (dalam tingkatan ini) dengan banyaknya puasa, tidak juga banyaknya shalat, akan tetapi dia mendahului kalian dengan sesuatu yang tertanam di dalam hatinya”.
Keimanan orang-orang shiddiq yang menjadikan sesuatu yang ghaib bagi mereka seperti sesuatu yang tampak, tidak sama dengan orang-orang yang belum mencapai tingkatan ini. Termasuk di antaranya perkataan sebagian ulama : “Tidaklah Abu Bakar mendahului kalian (dalam tingkatan ini) dengan banyaknya puasa, tidak juga banyaknya shalat, akan tetapi dia mendahului kalian dengan sesuatu yang tertanam di dalam hatinya”.
Inilah rukun-rukun Iman. Siapapun yang meyakini, maka ia akan selamat
dan beruntung. Barangsiapa yang menentangnya, maka ia akan sesat dan
merugi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي
أَنزَلَ مِن قَبْلُ ۚ وَمَن يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ
وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
Wahai orang-orang mukmin, berimanlah kepada Allah, RasulNya, kitab
suci yang telah diturunkan kepada RasulNya (Muhammad n ) dan kitab yang
diturunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kufur kepada Allah,
malaikat-malaikatNya, rasul-rasulNya, kitab-kitabNya dan hari Kiamat,
maka sungguh ia benar-benar tersesat. [an Nisaa` : 136].
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berkeyakinan, Iman itu bertambah dan berkurang. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
هُوَ الَّذِي أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang
mu’min supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang
telah ada). [al Fath : 4]
.
.
نَّحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُم بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
Kami ceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya.
Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb
mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk; [al Kahfi : 13].
5. Iman kepada Allah mencakup empat hal.
• Iman tentang adanya Allah diyakini oleh setiap makhluk.
Bahwa adanya alam semesta ini pasti ada yang menciptakan, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena tidak mungkin seluruh alam semesta dan isinya terjadi dengan sendirinya.
• Iman tentang adanya Allah diyakini oleh setiap makhluk.
Bahwa adanya alam semesta ini pasti ada yang menciptakan, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena tidak mungkin seluruh alam semesta dan isinya terjadi dengan sendirinya.
• Iman tentang rububiyah Allah.
Yaitu meyakini, hanya Allah saja yang menciptakan, memiliki langit dan bumi, dan seluruh alam semesta beserta isinya, yang memberikan rezeki, mengatur alam semesta, menghidupkan dan mematikan dan lainnya.
Yaitu meyakini, hanya Allah saja yang menciptakan, memiliki langit dan bumi, dan seluruh alam semesta beserta isinya, yang memberikan rezeki, mengatur alam semesta, menghidupkan dan mematikan dan lainnya.
• Iman tentang uluhiyah Allah.
Yaitu mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba. Dengan cara itu, manusia bisa mendekatkan diri kepada Allah apabila hal itu disyari’atkan olehNya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja` (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’anah (minta pertolongan), istighatsah (minta pertolongan saat mengalami kesulitan), isti’adzah (minta perlindungan), dan segala yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apa pun. Semua ibadah ini dan lainnya, harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karenaNya. Ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah. Tauhid ini merupakan inti dakwah para rasul, dari rasul yang pertama sampai terakhir.
Yaitu mengesakan Allah melalui segala pekerjaan hamba. Dengan cara itu, manusia bisa mendekatkan diri kepada Allah apabila hal itu disyari’atkan olehNya, seperti berdo’a, khauf (takut), raja` (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’anah (minta pertolongan), istighatsah (minta pertolongan saat mengalami kesulitan), isti’adzah (minta perlindungan), dan segala yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apa pun. Semua ibadah ini dan lainnya, harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karenaNya. Ibadah tersebut tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah. Tauhid ini merupakan inti dakwah para rasul, dari rasul yang pertama sampai terakhir.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum kamu, melainkan Kami
wahyukan kepadanya “Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku. [al Anbiya’ : 25].
Setiap rasul, memulai dakwahnya mengajak umat kepada tauhid uluhiyah, sebagaimana Nuh, Hud, Shalih dan Syu’aib. [9]
يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرُهُ
Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Ilah bagimu selainNya. [QS al A’raaf : 59 Lihat juga ayat 65, 73 dan 85].
Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apa
pun. Bila ibadah itu dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya
terjatuh kepada syirkun akbar dan tidak diampuni dosanya.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu)
dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi siapa
yang dikehendakiNya. [an Nisa : 48 dan 116]
• Tauhid Asma` wa Shifat.
Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah dan RasulNya telah tetapkan atas diriNya, baik berkaitan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah; dan Ahlus Sunnah mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan RasulNya. Kita wajib menetapkan nama dan sifat Allah, sebagaimana yang terdapat di dalam al Qur`an dan as Sunnah, dan tidak boleh dita’wil (dirubah maknanya).
Ahlus Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah dan RasulNya telah tetapkan atas diriNya, baik berkaitan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah; dan Ahlus Sunnah mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah dan RasulNya. Kita wajib menetapkan nama dan sifat Allah, sebagaimana yang terdapat di dalam al Qur`an dan as Sunnah, dan tidak boleh dita’wil (dirubah maknanya).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H) berkata,”Manhaj
Salaf dan para imam ahlus sunnah, mereka mengimani tauhid asma` wa
shifat dengan menetapkan apa yang telah Allah tetapkan atas diriNya dan
telah ditetapkan RasulNya untukNya, tanpa tahrif dan ta’thil, serta
tanpa takyif dan tamtsil. Ahlus Sunnah menetapkan tanpa tamtsil,
menyucikan tanpa ta’thil, menetapkan semua sifat Allah dan menafikan
persamaan sifat Allah dengan makhluknya”. [Lihat penjelasannya di dalam
Syarah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hlm. 94, Cet. II].
Firman Allah :
Firman Allah :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy Syuura : 11].
Lafazh ayat laisa kamitslihi syai’ (tidak ada yang serupa denganNya)
merupakan bantahan kepada golongan yang menyamakan sifat-sifat Allah
dengan makhlukNya. Sedangkan lafazh ayat wahuwas samii’ul bashiir (dan
Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat) sebagai bantahan kepada
orang-orang yang menafikan atau mengingkari sifat-sifat Allah.
I’tiqad Ahlus Sunnah dalam masalah nama dan sifat Allah didasari atas
dua prinsip. Pertama, bahwasanya Allah wajib disucikan dari semua sifat
kurang secara mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati dan
lainnya. Kedua, Allah mempunyai sifat-sifat yang sempurna, tidak
memiliki kekurangan sedikit pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk
yang menyamai sifat-sifat Allah. [10]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.
8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]_______
Footnote
[1]. Beliau seorang perawi yang tsiqat (Taqribut Tahdziib : I/319 no.7706)
[2]. Ma’bad bin Khalid al Juhami, al Qadary, dikatakan juga Ibnu ‘Abdillah bin ‘Ukaim seorang Mubtadi’ (ahli bid’ah). Orang pertama yang berbicara untuk menolak qadar di Bashrah, wafat karena dibunuh th.80 H. (Taqribut Tahdziib : II/198 no.6801, Mizanul I’tidaal : IV/141 no.8646).
[3]. Lihat Ighatsatul Lahafan min Makaidi asy Syaithan
[4]. Hilyatul Ilmil Mu’allim wa Bulghatut Thalibil Muta’allim, hlm. 17-19.
[5]. Syarh Tsalatsatil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, hlm. 68-69.
[6]. Dinukil dengan ringkas dari Qawaaid wa Fawaaid Minal Arba’in an Nawawiyah, hlm. 38-40.
[7]. HR Bukhari, no. 9, Muslim, no. 35. Lafazh ini milik Muslim dari sahabat Abu Hurairah z .
[8]. Syarh Shahih Muslim, oleh Imam an Nawawi I/124.
[9]. Aqiidatut Tauhiid, hlm. 36, oleh Dr. Fauzan bin Abdullah al Fauzan
[10]. Lihat Minhajus Sunnah (II/111,523), Tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar