Rabu, 04 Maret 2020

HAK-HAK JALAN


HAK-HAK JALAN

Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
((إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ))، فَقَالُوا: مَا لَنَا بُدٌّ إِنَّمَا هِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا، قَالَ: ((فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا))، قَالُوا: وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ، قَالَ: ((غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ)).

“Janganlah kalian duduk-duduk di (tepi) jalanan,” mereka (para sahabat) berkata,”Sesungguhnya kami perlu duduk-duduk untuk berbincang-bincang.” Beliau berkata,”Jika kalian tidak bisa melainkan harus duduk-duduk, maka berilah hak jalan tersebut,” mereka bertanya,”Apa hak jalan tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,”Menundukkan (membatasi) pandangan, tidak mengganggu (menyakiti orang), menjawab salam, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar”.

TAKHRIJ HADITS
Muttafaun ‘alaihi. Hadits ini diriwayatkan oleh al Bukhari dalam Shahih-nya (di kitab Fathul Bari) di kitab al Mazhalim wal Ghashab, hadits no. 2465 dan di kitab al Isti’dzan, hadits no. 6229; Muslim dalam Shahih-nya (dengan syarah an Nawawi) di kitab al Libaas waz Ziinah, hadits no. 2121 dan di kitab as Salam, hadits no. 2161.

BIOGRAFI PERAWI HADITS
– Abu Sa’id Al Khudri Radhiyalllahu ‘anhu. Beliau bernama Sa’ad bin Malik bin Sinan bin ‘Ubaid dari Bani Khudrah -al Abjar- bin ‘Auf al Khazraji al Anshari, lebih dikenal dengan sebutan Abu Sa’id al Khudri. Dilahirkan di kota Madinah. Beliau dan ayahnya termasuk sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia.
Pada saat terjadi peperangan Uhud, beliau masih kecil, sehingga tidak dapat ikut serta dalam peperangan, namun ayahnya, Malik bin Sinan mengikutinya dan mati syahid dalam peperangan tersebut.
Setelah perang Uhud, beliau ikut berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam 12 peperangan dimulai dari perang Khandak. Beliau salah satu ulama dan fuqaha para sahabat, banyak mendengar dan meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari beberapa sahabat lain.
Beliau wafat di Madinah pada tahun 74 H, atau ada pula yang menyebutkan beliau wafat 10 tahun sebelumnya, yaitu antara tahun 63-65H. Wallahu a’lam. Lihat al Ishabah (3/66), al Bidayah wan Nihayah (9/4) dan at Taqrib, hlm. 232 urutan no. 2253).

MAKNA HADITS SECARA RINGKAS
Suatu saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan melewati beberapa orang sahabat yang sedang duduk-duduk di pekarangan rumah salah seorang dari mereka. Di antara mereka adalah Abu Thalhah Radhiyallahu ‘anhu, lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur mereka agar tidak melakukan hal itu. Namun para sahabat menyampaikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa mereka perlu duduk-duduk untuk memperbincangkan suatu urusan. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada mereka, bahwa jika memang hal itu diperlukan dan tidak bisa ditinggalkan, maka mereka wajib memenuhi hak-hak orang lain yang melewati mereka, di antaranya yang disebutkan dalam hadits ini ada empat macam hak. Yaitu, (pertama), menundukkan (membatasi) pandangan (dari melihat para wanita yang bukan mahramnya yang melewatinya atau hal-hal yang diharamkan); (kedua), tidak mengganggu (menyakiti) orang dengan ucapan maupun perbuatan; (ketiga), menjawab salam; (keempat), memerintahkan (manusia) kepada kebaikan dan mencegah (mereka) dari perbuatan mungkar.

KEDUDUKAN HADITS
Al Imam an Nawawi berkata,”Hadits ini banyak mengandung pelajaran yang penting dan termasuk di antara sederetan hadits-hadits jami’ (yang ringkas tetapi penuh makna), lagi jelas hukum-hukumnya.” [Syarh Shahih Muslim, 14/86].

PENJELASAN DAN FAIDAH-FAIDAH HADITS
• Kata-kata (إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ…) metode seperti ini, biasanya digunakan untuk memberi peringatan sebagai perintah agar menjauhi sesuatu yang buruk dan maknanya sama dengan melarangnya. Jadi maknanya adalah “jauhilah oleh kalian hal tersebut” atau “janganlah kalian melakukan hal itu”. Seperti dalam sebuah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ((إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ)) yang artinya [1], “jauhilah perkataan dusta” atau “janganlah kalian berdusta”.
Tapi apakah suatu perintah itu harus berarti wajib, atau apakah suatu larangan harus berarti haram? Kita akan simak jawabannya pada penjelasan berikutnya dalam tulisan ini.
• Kata (الطُّرُقَات) adalah bentuk jamak dari (الطُّرُق), sedangkan (الطُّرُق) adalah bentuk jamak dari (الطَّرِيق) yang artinya adalah jalan.
Al Imam al Bukhari menyebutkannya dalam judul bab untuk hadits ini di kitab al Mazhalim dengan ungkapan (الصُّعُدَات) guna menunjukkan kesamaan makna antara keduanya. Hal itu dikuatkan oleh hadits Abu Thalhah Radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim, hadits no. 2161 ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengungkapkan dengan kata (الصُّعُدَات) dan Imam Muslim menyebutkannya dalam judul bab untuk hadits ini di kitab as Salam dengan kata (الطَّرِيقِ).
Kemudian Imam al Bukhari -dalam judul bab yang sama di kitab al Mazhalim- menyebutkan kata (أَفْنِيَة الدُّورِ), yang artinya adalah pekarangan (halaman rumah), guna menunjukkan kesamaan hukumnya dengan jalanan (selama pekarangan atau halaman rumah tersebut terbuka dan biasa dilewati oleh orang banyak).
Dan itu didukung dengan hadits Abu Thalhah Radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Muslim, ketika Abu Thalhah Radhiyallahu ‘anhu berkata:

((كُنَّا قُعُودًا بِالأَفْنِيَةِ، فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ  فَقَالَ: مَالَكُمْ وَلِمَجَالِسِ الصُّعُدَاتِ))

“Ketika kami sedang duduk-duduk di halaman (pekarangan rumah), lalu datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata,’Kenapa kalian duduk-duduk di (tepi) jalanan?’.”
Sa’id bin Manshur menambahkan –dengan menukil- dari Mursal Yahya bin Ya’mur ungkapan berikut:

((فَإِنَّهَا سَبِيلٌ مِنْ سُبُلِ الشَّيْطَانِ أَوِ النَّارِ))

Sesungguhnya (tepi) jalanan itu adalah salah satu dari jalan-jalan setan atau neraka. [Lihat Fathul Bari, 11/12-13].
Itulah alasan kenapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka duduk-duduk di tepi jalanan atau semisalnya.
Termasuk pula warung-warung dan balkon-balkon yang tinggi yang berada di atas orang-orang yang lewat. [Fathul Bari, 5/135].
• Perkataan para sahabat “sesungguhnya kami perlu duduk-duduk untuk berbincang-bincang”.
Dalam riwayat Muslim (hadits no. 2161) dari hadits Abu Thalhah Radhiyallahu ‘anhu terdapat tambahan kata-kata “dan untuk saling mengingatkan (menasihati)”. Dan dari riwayat ini pula diketahui, bahwa yang mengucapkan perkataan tersebut adalah Abu Thalhah Radhiyallahu ‘anhu. [Lihat Fathul Bari, 5/135].
Al Qadhi ‘Iyadh berkata,”Dalam perkataan sahabat tersebut terdapat dalil yang menunjukkan, bahwa perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka itu tidak untuk kewajiban, melainkan bersifat anjuran dan keutamaan. Karena, kalau mereka memahaminya sebagai kewajiban, tentu mereka tidak akan merajuk kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti itu. Dan hal ini dijadikan dalil oleh mereka yang berpendapat bahwa perintah-perintah itu tidak mengandung kewajiban.”
Ibnu Hajar rahimahullah berkomentar: “Namun, ada kemungkinan bahwa mereka mengharapkan adanya nasakh (penghapusan hukum kewajiban tersebut) untuk meringankan apa yang mereka adukan perihal keperluan mereka melakukan hal itu, dan hal ini didukung oleh apa yang tersebut dalam Mursal Yahya bin Ya’mur, di sana terdapat kata-kata ‘maka mereka mengira bahwa hal itu merupakan keharusan (kewajiban)’.” [Fathul Bari, 11/13].
• Perkataan “jika kalian tidak bisa melainkan harus duduk-duduk, maka berilah hak jalan tersebut”.
Ibnu Hajar berkata,”Dari alur pembicaraan ini jelaslah, bahwa larangan (duduk-duduk di tepi jalanan atau semisalnya, Pen.) dalam hadits ini adalah untuk tanzih (yang bermakna makruh bukan haram), agar tidak mengendurkan orang yang duduk-duduk untuk memenuhi hak (jalan) yang wajib ia penuhi”. [Fathul Bari, 5/135].
Imam an Nawawi rahimahullah berkata, “… dan maksudnya adalah bahwa duduk-duduk di tepi jalanan itu dimakruhkan”. [Syarh Shahih Muslim, 14/120].
• Perkataan “(hak jalan adalah) ghadhdhul bashar (menundukkan pandangan), kafful adza (tidak mengganggu atau menyakiti orang), menjawab salam, memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran”.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata,”Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan ghadhdhul bashar (menundukkan pandangan) untuk mengisyaratkan keselamatan dari fitnah karena lewatnya para wanita (yang bukan mahram) maupun yang lainnya. Menyebutkan kafful adza (tidak mengganggu atau menyakiti orang) untuk mengisyaratkan keselamatan dari perbuatan menghina, menggunjing orang lain ataupun yang serupa. Menyebutkan perihal ‘menjawab salam’ untuk mengisyaratkan keharusan memuliakan atau mengormati orang yang melewatinya. Menyebutkan perihal ‘memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran’ untuk mengisyaratkan keharusan mengamalkan apa yang disyari’atkan dan meninggalkan apa yang tidak disyari’atkan.”
Beliau melanjutkan,”Dalam hal ini terdapat dalil bagi yang berpendapat bahwa saddudz dzara-i (menutup jalan menuju keburukan) merupakan bentuk keutamaan saja bukan suatu kewajiban, karena (dalam hadits ini), pertama kali yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam larang adalah duduk-duduk (di tempat tersebut) guna memberhentikan mereka dari hal itu. Lalu ketika para sahabat mengatakan “kami perlu duduk-duduk”, barulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tujuan pokok dari larangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga diketahuilah, bahwa larangan yang pertama kali itu adalah untuk mengarahkan kepada yang lebih baik. Dari sini pula diambil kaidah, bahwa ‘mencegah keburukan lebih diutamakan daripada mendatangkan kebaikan’.” [Fathul Bari, 5/135].
Imam an Nawawi rahimahullah berkata,”Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengisyaratkan tentang alasan larangan beliau, bahwa hal itu dapat menjerumuskan kepada fitnah dan dosa ketika ada para wanita (yang bukan mahramnya) atau selainnya yang melintasi mereka, dan bisa berlanjut hingga memandang ke arah wanita-wanita tersebut (secara bebas), atau membayangkannya, berprasangka buruk terhadap wanita-wanita tersebut, atau terhadap setiap orang yang lewat. Dan di antara bentuk mengganggu atau menyakiti manusia adalah menghina (mengejek) orang yang lewat, berbuat ghibah (menggunjingya) atau yang lainnya, atau terkadang tidak menjawab salam mereka, tidak melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, serta alasan-alasan lainnya yang bila dia berada di rumah dapat selamat dari hal-hal seperti itu. Termasuk menyakiti (orang lain) pula bila mempersempit jalan orang-orang yang ingin lewat, atau menghalangi para wanita, atau yang lainnya yang ingin keluar menyelesaikan kebutuhan mereka dikarenakan ada orang-orang yang duduk di tepi jalanan…” [Syarah Shahih Muslim, 14/120].
• Tentang “menundukkan (menahan pandangan)”, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغُضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ …..

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya …” [an Nur : 30-31].
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di rahimahullah mengatakan tentang ayat tersebut,”Yakni, bimbinglah kaum Mukminin, dan katakan kepada mereka yang memiliki iman, bahwa (di antara) yang dapat mencegah mereka terjatuh ke dalam perkara yang merusak iman adalah (dengan) menundukkan (menahan) pandangan mereka dari melihat aurat, para wanita yang bukan mahram dan lelaki amrad (yang berparas elok), yang dikhawatirkan bisa berpotensi menimbulkan fitnah (syahwat) bila memandangnya. Demikian pula perhiasan dunia yang dapat memfitnah dan menjerumuskan ke dalam larangan…”
Beliau juga mengatakan,”Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya…,’ (yakni) dari melihat aurat, para lelaki (bukan mahram) dengan syahwat dan pandangan lain yang dilarang …” [Taisir al Karim ar Rahman fi Tafsir al Kalam al Mannan, tafsir an Nur ayat 30-31]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada Ali Radhiyallahu ‘anhu :

((يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ))

Wahai Ali, jangan kamu iringi pandangan dengan pandangan lain, dibolehkan bagimu yang pertama saja sementara yang kedua tidak boleh. [HR Ahmad, Abu Dawud, at Tirmidzi, dan al Hakim dari Buraidah Radhiyallahu ‘anhu. Dihasankan derajatnya oleh Syaikh al Albani dalam Shahih al Jami’ ash Shaghir, no. 7953].
Maksud pandangan yang pertama adalah yang tak disengaja, statusnya dimaafkan dan tak berdosa. Adapun pandangan kedua adalah yang disengaja yang berdosa.
• Adapun kafful adza’ (tidak mengganggu dan menyakiti orang -dengan ucapan maupun perbuatan-), maka merupakan salah satu ciri penting seorang muslim sejati, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

((الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَ يَدِهِ))

Muslim (yang sempurna) adalah yang kaum Muslimin selamat dari (gangguan) lidahnya dan tangannya. [HR Muslim dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu]
Dan kafful adza’ termasuk salah satu bentuk akhlak mulia. Abdullah bin al Mubarak, ketika mensifati tentang akhlak yang mulia, ia berkata :

((هُوَ بَسْطُ الْوَجْهِ وَبَذْلُ الْمَعْرُوفِ وَكَفُّ الأَذَى)).

Yaitu bermuka manis, memberi kebaikan dan tidak mengganggu (menyakiti) terhadap orang lain. [Diriwayatkan oleh at Tirmidzi, hadits no. 2005]
• Berkaitan dengan “menjawab salam”, itu merupakan kewajiban, dan hendaknya menjawab dengan jawaban yang serupa, atau yang lebih baik sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَإِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

Dan jika kamu diberi suatu penghormatan (salam), maka balaslah penghormatan (salam) itu dengan yang lebih baik, atau balaslah ia dengan yang serupa…[2] [an Nisaa` : 86].
Jadi, menjawab salam adalah kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya sesama muslim yang memberi salam kepadanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

((حَقُّ الْمُسْلِِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ: رَدُّ السَّلاَمِ وَ عِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَ اتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَ إِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَ تَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ))

Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada lima. Yaitu : menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengikuti jenazah, memenuhi undangan dan mendo’akan yang bersin. [Muttafaqun ‘alaihi, dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu]
• Tentang “memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar”, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkannya dalam firmanNya :

وَلْتَكُن مِّنْكُم أُمَّةٌ يَّدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَونَ عَنِ الْمُنكَرِ، وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. [Ali Imran : 104].
Dan di antara wasiat Luqman kepada anaknya :

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ

Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu… [Luqman : 17].
Merealisasikan amar ma’ruf nahi mungkar merupakan salah satu sebab utama diperolehnya kebaikan dan kejayaan oleh pendahulu umat ini (para sahabat Radhiyallahu ‘anhum), sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah … [Ali Imran : 110].
Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

((وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ …))

dan menyuruh (manusia) kepada yang baik adalah shadaqah, dan mencegah (mereka) dari perbuatan mungkar adalah shadaqah … [HR Muslim, hadits no. 1674]
Demikianlah hak-hak dan adab-adab ketika seseorang duduk-duduk di tepi jalanan, atau yang semisalnya. Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan adab-adab atau hak-hak jalan yang lain sebagai berikut :
– Berkata yang baik. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Thalhah Radhiyallahu ‘anhu. [3]
– Memberi petunjuk jalan kepada musafir dan menjawab orang yang bersin jika dia bertahmid [4] sebagaimana terkandung dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.
– Menolong orang yang kesusahan dan menunjukkan jalan bagi orang yang tersesat, sebagaimana tertuang dalam hadits Umar Radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Abu Dawud [5], demikian juga dalam Mursal Yahya bin Ya’mur dan dalam riwayat al Bazzar.
– Menolong orang yang terzhalimi dan menebarkan salam, seperti dijelaskan dalam hadits al Barra’ Radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Ahmad dan At Tirmidzi.
– Membantu orang yang membawa beban berat, sebagaimana tertuang dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat al Bazzar.
– Banyak berdzikir kepada Allah, sebagaimana teriwayatkan dalam hadits Sahl bin Hanif Radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat ath Thabarani.
– Membimbing orang yang bingung, seperti yang terpaparkan dalam hadits Wahsyi bin Harb Radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat Ath Thabarani.
Kemudian Ibnu Hajar mengatakan: “Semua yang terdapat dalam hadits-hadits tersebut ada empat belas adab”. [Fathul Bari, 11/13].
Hal-hal yang tersebut di atas mengandung faidah tentang kesempurnaan Islam yang mengajarkan kepada umatnya tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk yang berkaitan dengan hak-hak jalan dan adab-adab ketika duduk-duduk di tempat-tempat yang biasa dilewati oleh khalayak manusia. Sekaligus menunjukan, kebaikan dan keindahan ajaran Islam, yakni apabila hal-hal di atas diamalkan oleh manusia, niscaya akan mendatangkan kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan mereka di dunia. Wallahu a’lam.
Maraji’:
1. Fathul Bari bi Syarhi Shahih al Bukhari, oleh al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani.
2. Syarhu Shahih Muslim, oleh Al Imam an Nawawi.
3. Sunan Abu Dawud.
4. Sunan at Tirmidzi.
5. Musnad al Imam Ahmad.
6. Shahih al Jami’ ash Shaghir, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
7. Al Ishabah fi Tamyiz ash Shahabah, oleh al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani.
8. Al Bidayah wan Nihayah, oleh al Imam Ibnu Katsir.
9. Taqrib at Tahdzib, oleh al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih, riwayat Ahmad (1/384 dan 432) dan Abu Dawud (no. 4337) dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu
[2]. Yakni, misalnya bila ada seseorang memberi salam dengan mengucapkan “assalamu’alaikum”, maka minimal, kita jawab dengan bentuk serupa, yaitu “wa’alaikumussalam”, atau dengan yang lebih baik, yaitu “wa’alaikumussalam warahmatullah”, dan seterusnya.
[3]. Shahih Muslim, no. 2161.
[4]. Yakni, bila seorang yang bersin mengucapkan “alhamdulillah”, maka yang mendengar wajib mendo’akannya dengan mengucapkan “yarhamukallah” –semoga Allah merahmatimu.
[5]. Hadits no. 4181.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar