Rabu, 04 Maret 2020

Sedekah tidak mesti dengan harta

Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah shodaqoh, tiap-tiap tahmid adalah shodaqoh, tiap-tiap tahlil adalah shodaqoh, menyuruh kepada kebaikan adalah shodaqoh, mencegah kemungkaran adalah shodaqoh dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah shodaqoh.

عَنْ أَبِى ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالُوا لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ « أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sesungguhnya sebagian dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bershodaqoh dengan kelebihan harta mereka”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bershodaqaoh? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah shodaqoh, tiap-tiap tahmid adalah shodaqoh, tiap-tiap tahlil adalah shodaqoh, menyuruh kepada kebaikan adalah shodaqoh, mencegah kemungkaran adalah shodaqoh dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah shodaqoh “. Mereka bertanya, “ Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”.  (HR. Muslim no. 2376)

:: PENJELASAN DAN FAEDAH HADITS ::
Para Shahabat Bersemangat Dalam Melakukan Kebaikan
Kita dapat melihat dalam hadits ini bahwa para shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in sangat bersemangat dalam melakukan kebaikan dan saling berlomba-lomba dalam melakukan amal kebaikan dan amal sholih. Setiap di antara mereka ingin mendapatkan sebagaimana yang didapati oleh yang lainnya. 
Dalam hadits ini terlihat bahwa shahabat-shahabat yang miskin mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengadukan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai orang-orang kaya yang sering membawa banyak pahala karena sering bersedekah dengan kelebihan harta mereka. Namun, pengaduan mereka ini bukanlah hasad (iri) dan bukanlah menentang takdir Allah. Akan tetapi, maksud mereka adalah untuk bisa mengetahui amalan yang bisa menyamai perbuatan orang-orang kaya. Shahabat-shahabat yang miskin ingin agar amalan mereka bisa menyamai orang kaya yaitu dalam hal sedekah walaupun mereka tidak memiliki harta. Akhirnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan mereka solusi bahwa bacaan dzikir, amar ma’ruf nahi mungkar, dan berhubungan mesra dengan istri bisa menjadi sedekah. 

Marilah Gemar untuk Bersedekah
Dalam hadits ini, kita dapat melihat bahwa shahabat-shahabat yang kaya gemar sekali untuk berinfak dengan kelebihan harta mereka. Untuk lebih memotivasi kita untuk banyak berinfak, kita dapat melihat pada firman AllahTa’ala,

مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِئَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2] : 261) 
Inilah permisalan yang Allah gambarkan yang menunjukkan berlipat gandanya pahala orang yang berinfak di jalan Allah dengan selalu selalu mengharap ridho-Nya. Dan ingatlah bahwa setiap kebaikan akan dibalas 10 hingga 700 kali lipat. 
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Ayat ini merupakan isyarat bahwa setiap amal sholih yang dilakukan akan diiming-imingi pahala yang berlimpah bagi pelakunya. Sebagaimana Allah mengiming-imingi tanaman bagi siapa yang menanamnya di tanah yang baik (subur).” 
Sedekah, Tidak Hanya Berupa Harta
Dapat kita lihat dalam hadits ini bahwa suri tauladan kita –Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam– memberikan petunjuk kepada kita bahwa sedekah bukanlah hanya dengan harta sehingga orang-orang miskin pun bisa melakukannya. Di sini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa bentuk sedekah yang lainnya adalah dengan bacaan tasbih yaitu dzikir Subhanallah, bacaan takbir yaitu dzikir Allahu akbar, bacaan tahmid yaitu dzikir Alhamdulillah, dan bacaan tahlil yaitu dzikir Laa ilaha illallah. Begitu juga termasuk sedekah adalah mengajak orang lain yang lalai untuk melakukan ketaatan dan melarang orang lain dari perbuatan yang mungkar. 
Perbuatan ini semua termasuk sedekah yang mampu dilakukan oleh orang miskin dan bisa dilakukan setiap saat. Sedangkan, orang kaya hanya mungkin dapat bersedekah pada satu waktu dan bukan setiap saat. 

Berhubungan Intim dengan Istri Juga Termasuk Sedekah
Dalam hadits ini juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan di antara bentuk sedekah yang lain adalah jima’ (bersenggama) dengan istri. 
Namun, tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memaparkan yang demikian, para shahabat langsung timbul tanda tanya. Bagaimana bisa seseorang mendatangi istrinya dengan syahwat termasuk sedekah? 
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab keraguan dari para shahabat ini dengan menggunakan qiyas bil’aqsi (analogi yang berkebalikan). Yaitu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala.” 
Ada perkataan yang sangat bagus sekali dari An Nawawi tatkala menjelaskan makna hadits ini.
Beliau rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa syahwat jima’ adalah syahwat yang paling disukai oleh para Nabi ‘alaihimush sholatu was salam dan orang-orang sholih. Mereka mengatakan,’Karena di dalam syahwat tersebut terdapat maslahat (manfaat) diniyyah (agama) dan duniawiyyah (dunia) di antaranya adalah bisa menjaga pandangan, menahan diri dari zina, bisa menghasilkan anak dan memperbanyak umat ini hingga hari kiamat. Syahwat selain jima’ lebih akan mengeraskan hati sedangkan syahwat jima’ ini lebih akan melembutkan (mententramkan) hati’.” (Dinukil dari Ad Durotus Salafiyyah, hal 186) 

Sedekah Ada yang Wajib dan Sunnah
Macam-macam sedekah yang disebutkan di atas yaitu bacaan dzikir dan sebagainya, ada yang wajib dan sunnah. 
Bacaan takbir, ada yang wajib dan ada yang tidak wajib. Takbiratul ihram dalam shalat termasuk kewajiban dan bacaan takbir sesudah shalat adalah anjuran (sunnah). Begitu juga dengan bacaan tahlil, tasbih, dan tahmid. 
Amar ma’ruf nahi mungkar yaitu memerintahkan kepada ketaatan dan mencegah dari kemungkaran, ini juga ada yang wajib yaitu fardhu ‘ain bagi yang memiliki kemampuan dan ada yang sifatnya fardhu kifayah yaitu apabila sebagian telah melakukkannya dan mencukupi maka yang lain menjadi gugur kewajibannya, juga ada yang hukumnya mustahab (dianjurkan). 
Namun, untuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar hendaklah melihat syarat-syarat berikut ini. 

Syarat Amar Ma’ruf dan Nahi Mungkar
Amar ma’ruf (memerintahkan kepada ketaatan) harus memiliki dua syarat yaitu : 
Pertama, orang yang memerintah harus memiliki ilmu bahwa yang diperintahkan adalah suatu ketaatan. Jika dia tidak memiliki ilmu maka dia tidak boleh beramar ma’ruf. Karena apabila seseorang seseorang beramar ma’ruf padahal dia tidak mengetahui ilmunya (alias ‘jahil atau bodoh’) maka berarti dia telah berkata tentang Allah tanpa ilmu. 
Kedua, orang yang memerintah harus mengetahui bahwa orang yang diajak/diperintah telah meninggalkan suatu kewajiban. Jika yang memerintah tidak mengetahuinya, dia harus bertanya terlebih dahulu. Sebagaimana hal ini dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Jabir, beliau berkata,

دَخَلَ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالنَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَخْطُبُ فَقَالَ « أَصَلَّيْتَ » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ »

Pada hari Jum’at, seorang pria memasuki masjid sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah. Lalu Nabi berkata, ‘Apakah kamu sudah shalat (tahiyatul masjid, pen)?’ Pria tadi menjawab, ‘Belum’. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Maka shalatlah (tahiyatul masjid, pen) sebanyak dua raka’at. ” (HR. Bukhari no. 931) 
Maka dalam hadits di atas terlihat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintah langsung sebelum mengetahui apakah sudah melakukan shalat atau belum. 
Begitu juga nahi mungkar atau melarang dari kemungkaran juga harus terpenuhi tiga syarat : 
Pertama, harus diketahui terlebih dahulu bahwa perbuatan tersebut adalah mungkar berdasarkan dalil syar’i dan bukan persangkaan atau pendapat semata. Karena terkadang manusia mengingkari orang lain padahal dia melakukan perbuatan yang disyari’atkan. 
Kedua, harus diketahui bahwa orang yang ingin dilarang telah terjatuh dalam suatu kemungkaran. Jika tidak mengetahui demikian, dia tidak boleh melarang yang lainnya. 
Misalnya : Ada seseorang makan dan minum pada saat Ramadhan di masjid. Maka seseorang tidak boleh mengingkarinya sampai dia menanyakan terlebih dahulu, apakah orang tersebut seorang musafir atau bukan. Karena seorang musafir boleh saja makan dan minum ketika ramadhan. 
Ketiga, mengingkari kemungkaran tidak sampai menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. Jika melakukan seperti ini, maka melarang kemungkaran dalam kondisi ini menjadi haram.
Menghilangkan kemungkaran ada beberapa macam yaitu : 
1.    Bisa menghilangkan kemungkaran secara keseluruhan 
2.    Bisa meringankan kemungkaran yang ada 
3.    Berpindah menjadi kemungkaran yang semisalnya 
4.    Berpindah menjadi kemungkaran yang lebih besar 
Jika kemungkaran bisa hilang secara keseluruhan atau sebagiannya saja, maka pada kondisi ini hukum melarang kemungkaran menjadi wajib. 
Jika kemungkaran yang dihilangkan itu berpindah kepada kemungkaran yang semisal, maka perlu ditinjau lagi. Karena ada sebagian orang yang demikian merasa ringan jika berpindah pada kemungkaran yang lainnya dan juga ada yang lebih baik jika dia tetap pada kemungkaran yang dulu dia lakukan. 
Namun jika kemungkaran yang dihilangkan malah akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, maka dalam hal ini, nahi mungkar menjadi haram. 
Dalil yang menunjukkan bahwa menghilangkan kemungkaran secara keseluruhan atau sebagian adalah wajib dapat dilihat pada firman Allah Ta’ala,

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al Maa’idah [5] : 2)

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ


Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (QS. Ali Imron [3] : 104) 
Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa menghilangkan kemungkaran menjadi haram jika menimbulkan kemungkaran lain yang lebih besar dapat dilihat pada firman Allah,

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ


Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al An’am [6] : 108) 
Dalam ayat ini, Allah melarang kita mencaci maki sesembahan orang musyrik padahal itu adalah perkara yang wajib. Karena jika ini dilakukan akan membawa kepada kemungkaran lebih besar yaitu orang-orang musyrik malah akan mencaci Allah yaitu Dzat yang tersucikan dari segala bentuk kekurangan. 
Begitu juga berhubungan dengan istri termasuk sedekah. Dan sedekah ini terkadang menjadi wajib dan terkadang cuma sekedar anjuran. 
Apabila seseorang takut dirinya akan terjerumus dalam zina jika tidak mendatangi istrinya maka mendatangi istrinya dalam kondisi ini menjadi wajib. Dan jika tidak seperti ini, maka hukum mendatangi istri adalah dianjurkan. 

Mencukupkan Diri dengan yang Halal
Dari hadits ini terdapat suatu faedah yang sangat penting yaitu ‘barangsiapa mencukupkan diri dengan yang halal maka itu akan menjadi qurbah (bentuk ibadah) dan sedekah’. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammengatakan,

وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ

“Dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah shodaqoh.” (HR. Muslim) 
Namun, perlu diperhatikan bahwa suatu perbuatan mubah bisa bernilai pahala jika disertai dengan niat ikhlas untuk mengharapkan wajah Allah. 
Dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ

Tidaklah nafkah yang engkau cari untuk mengharapkan wajah Allah kecuali engkau akan diberi balasan karenanya, sampai apa yang engkau masukkan dalam mulut istrimu.” (HR. Bukhari no. 56) 
Juga dapat dilihat pada firman Allah Ta’ala,

لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ النَّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا


Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An Nisa’ [4] : 114) 
An Nawawi dalam Syarh Muslim 6/16 mengatakan,

أَنَّ الْمُبَاح إِذَا قَصَدَ بِهِ وَجْه اللَّه تَعَالَى صَارَ طَاعَة ، وَيُثَاب عَلَيْهِ


“Sesungguhnya perbuatan mubah, jika dimaksudkan dengannya untuk mengharapkan wajah Allah Ta’ala, maka dia akan berubah menjadi suatu ketaatan dan akan mendapatkan balasan (ganjaran).”
Namun ada catatan penting yang harus diperhatikan bahwa perkara mubah itu bisa berpahala kalau disertai dengan niat untuk mengharapkan wajah Allah. Tetapi ingat bahwa perkara mubah tersebut hanyalah sebagai sarana saja dan tidak menjadi ibadah itu sendiri.
Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat dan memberi petunjuk untuk melakukan amal sholih. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin dan semoga Allah membalas amalan ini.
Referensi:
Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr
Syarh Al Arba’in An Nawawiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
Syarh Al Arba’in An Nawawiyyah, Syaikh Sholih Alu Syaikh
Shohih Tafsir Ibnu Katsir, Musthofa Al ‘Adawiy
dan sumber lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar