Rabu, 14 Oktober 2015

SYARAH ARBA’IN NAWAWI

PENJELASAN HADITS PERTAMA
SYARAH ARBA’IN NAWAWI

1- عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِيءٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى الله وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٌ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ )). رَوَاهُ إِمَامَا الْمُحَدِّثَيْنِ : أَبُوْ عَبْدِ الله مُحَمَّدِ بْنِ إِسْمَاعِيْلَ بْنِ إِبْرَاهِيْمَ بْنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ بَرْدِزْبَةِ الْبُخَارِيْ ، وَأَبُوْ الْحُسَيْنِ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ بْنِ مُسْلِمِ الْقُشَيْرِيُّ اَلنَّيْسَابُوْرِيُّ فِيْ صَحِيْحَيْهِمَا اللَّذَيْنِ هُمَا أَصَحُّ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَةِ .

Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh Umar bin Khattab berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya amal perbuatan membutuhkan niat. Dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih dunia atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya kepada apa yang dia niatkan.”
Hadits ini diriwayatkan oleh dua imam ahli hadits yaitu, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari, dan Abul Husein Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi dalam Shahih keduanya, yang mana keduanya adalah kitab karangan yang paling shahih.

l   Biografi Periwayat Hadits
Shahabat Umar bin Khattab
Beliau adalah Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul ‘Uzza bin Riyah bin Qurth bin Razah bin ‘Adi bin Ka’ab bin Lu-ai, Al-Qurasyi Al-‘Adawi. Nasab beliau bersambung dengan nasab rasulullah pada kakekny yang ketujuh yaitu Ka’ab bin Luai.
Umar bin Khattab memeluk islam pada tahun keenam setelah kenabian. Beliau turut serta dalam semua pertempuran bersama rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau meninggal pada awal bulan Muharram tahun 24 Hijriyyah, karena ditikam oleh Abu Lu’lu’ah, budak majusi milik Mughirah bin Syu’bah. Kepemimpinan Umar berlangsung selama sepuluh tahun enam bulan.
Al-Imam Al-Bukhari
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Mughirah bin Bardizbah Al-Ju’fi Al-Bukhari. Penulis kitab Ash-Shahih, lahir di bulan Syawwal tahun 194 hijriyah.
Al-Imam Muslim
Beliau adalah Abul Husein Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi, lahir pada tahun 204 hijriyah dan meninggal di bulan Rajab tahun 261 hijriyah.
l   Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari pada tujuh tempat dalam kitab Shahih-nya[1] dengan redaksi yang berbeda-beda. Sedangkan Imam Muslim meriwayatkannya di  akhir kitab Al-Jihad no.1907[2].
Hadits ini juga diriwayatkan dari tujuh belas shahabat lainnya sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Abdurrahman bin Mandah[3]. Mereka adalah Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Abu Hurairah, Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Umar, Abdullah bin ‘Abbas, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, ‘Ubadah bin Shamith, ‘Utbah bin ‘Abd Al-Aslami, Hazzal bin Suwaid, ‘Utbah bin ‘Amir, Jabir bin Abdillah, Abu Dzar Al-Ghifari, ‘Utbah bin Mundzir, dan ‘Uqbah bin Muslim radhiallahu ‘anhum.[4] Semuanya diriwayatkan Ibnu Mandah sebagaimana disebutkan Badrud Din Al-‘Aini dalam ‘Umdatul Qari 1/51, Al-Hafizh Al-‘Iraqi dalam At-Taqyid wal Idhah hal.102-103 dan Tharhut Tatsrib 1/357 .
Akan tetapi riwayat dari tujuh belas shahabat di atas semuanya dha’if/lemah, sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafizh Al-‘Iraqi.
Al-Bazzar berkata dalam musnad-nya (no.260): “Dan kami tidak mengetahui hadits ini diriwayatkan (dengan sanad yang shahih) kecuali dari ‘Umar bin Khattab dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” Seperti ini pula yang disebutkan Al-Imam Ali bin Al-Madini, At-Tirmidzi, Hamzah Al-Kinani, dan Muhammad bin ‘Attab.[5]
Al-Imam An-Nawawi juga berkata: “Para huffazh berkata, ‘Hadits ini tidak ada yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kecuali dari riwayat Umar bin Khattab.”[6]
* * *
l   Makna Hadits secara Global
Hadits ini merupakan salah satu hadits yang menjadi poros Islam. Al-Imam Ahmad dan Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Hadits ini mengandung sepertiga ilmu dan masuk ke dalam tujuh puluh bab pembahasan fikih.”[7] Disebut sepertiga ilmu karena perbuatan seorang hamba tidak lepas dari tiga bagian: hati, lisan, dan anggota tubuh. Sedangkan niat yang bermukim di dalam hati  adalah salah satunya.
Al-Imam Ahmad berkata: “Pokok islam ada pada tiga hadits; kemudian beliau menyebutkan salah satunya adalah hadits Umar di atas.”
Al-Imam Abu Sa’id Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata: “Seandainya aku menyusun sebuah buku, akan kumulai pada setiap babnya dengan hadits ini.” Beliau juga berkata, “Siapa saja yang ingin menyusun sebuah kitab hendaklah ia mulai dengan hadits ini.”
Al-Imam Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad bin Ibrahim bin Khattab Al-Khattabi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Ma’alim, “Dahulu para masyayikh kami menyukai mendahulukan hadits ini pada segala sesuatu.”
Sebagian salaf juga berkata, “Sepatutnya hadits ini dijadikan pembuka setiap kitab dari kitab-kitab ilmu.”
Demi menjalankan wasiat para Imam tersebut, banyak ulama’ yang menjadikan hadits ini sebagai pembuka tulisan mereka, sebagai contoh Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi dalam ‘Umdatul Ahkam, Al-Baghawi dalam dua kitabnya; Mashabihus Sunnah dan Syarhus Sunnah, demikian pula As-Suyuthi dalam Al-Jami’ush Shaghir , serta Al-Imam Nawawi dalam dua kitabnya; Al-Majmu’ dan Al-Arba’in yang sedang kita bahas ini.[8]
l   Makna Hadits
[ hanyalah ] lafazh Innama (hanyalah) dalam ilmu ma’ani bahasa arab berfungsi sebagai hashr (pembatasan).
[ amal perbuatan dengan niat ] Maknanya adalah: hanyalah amal perbuatan akan diterima atau akan menjadi benar dengan niat. Amal perbuatan di sini mencakup ucapan dan perbuatan; ucapan hati dan perbuatan hati, dan ucapan lisan juga perbuatan lisan, demikian pula ucapan dan perbuatan jawarih (anggota tubuh).
Akan tetapi niat hanya berlaku untuk amalan yang bersifat perintah, adapun untuk amalan yang bersifat larangan maka tidak disyari’atkan untuk berniat, seperti membersihkan najis, meninggalkan khamar, atau menjauhi ghibah. Seseorang yang meninggalkan perbuatan tersebut atau yang semisalnya akan tetap sah walaupun tidak didahului dengan niat. Berbeda dengan amalan yang bersifat perintah, seperti shalat, puasa, dan wudhu’. Seseorang yang melakukan perbuatan tersebut tidak akan diterima dan tidak akan mendapatkan pahala kecuali apabila disertai dengan niat yang benar. Wallahu a’lam.

[ dan seseorang akan dibalas sesuai dengan niatnya ] yakni amal perbuatan hamba disesuaikan dengan niatnya; keabsahan atau kerusakannya, kesempurnaan atau kekurangannya. Maka siapa saja yang melakukan perbuatan ketaatan dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah maka ia akan mendapatkan pahala yang besar. Dan siapa saja meniatkan bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah maka yang dia dapatkan hanya kenikmatan dunia, baik berupa kedudukan, pujian atau yang lainnya.
Terkadang sebuah amalan yang asalnya mubah bisa bernilai ibadah disebabkan niat. Sebagai contoh adalah makan dan minum yang asalnya mubah, tetapi jika diniatkan untuk melakukan ketaatan seperti makan sahur maka ia bernilai ibadah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Makan sahurlah kalian, karena pada makan sahur terdapat barakah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

[ Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan rasul-Nya ] asal kata hijrah maknanya ialah meninggalkan. Adapun makna hijrah karena Allah ialah meninggalkan sesuatu karena mengharap keridhaan Allah. Dan makna hijrah karena Rasul-Nya ialah meningalkan sesuatu karena mengikuti Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Dan yang dimaksud hijrah pada hadits ini adalah meninggalkan negeri syirik menuju negeri Islam. Termasuk juga seseorang yang meninggalkan negeri bid’ah menuju negeri sunnah, atau negeri yang dipenuhi kemaksiatan menuju negeri yang sedikit maksiatnya.

[ maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya ] hijrah yang diniatkan karena mencari keridhaan Allah dan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah ibadah, dan pelakunya akan mendapatkan pahala yang besar. Ini adalah perumpamaan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang seorang yang melakukan amalan ibadah ikhlas karena Allah .
[ dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang akan dia raih atau wanita yang akan dia nikahi maka hijrahnya sesuai dengan niatnya ]  Ini adalah perumpamaan bagi seorang yang melakukan ibadah karena mencari kenikmatan dunia berupa harta atau wanita. Maka pelakunya hanya mendapatkan apa yang dia niatkan. Demikian pula seluruh amalan akan dinilai sesuai dengan niatnya.
Sebagian ulama’, seperti Ibnu Daqiqil ‘Ied dan An-Nawawi menyebutkan bahwa hadits ini berkenaan dengan seorang shahabat yang melakukan hijrah dari Mekkah menuju Madinah karena ingin menikahi wanita yang dia cintai bernama Ummu Qais. Sehingga orang tersebut dijuluki Muhajir Ummu Qais (orang yang pindah karena mencari Ummu Qais). Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Dahulu ada seseorang berhijrah untuk menikahi seorang wanita yang disebut Ummu Qais, sehingga ia dijuluki Muhajir Ummu Qais.” Dalam riwayat lain, “Dahulu ada di antara kami seorang yang melamar wanita dikenal dengan Ummu Qais, ia enggan untuk dinikahi sampai lelaki tersebut melakukan hijrah, maka lekaki itupun berhijrah kemudian menikahinya. Orang itu kami juluki Muhajir Ummu Qais.”
Menanggapi cerita di atas, Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, sanadnya shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim. Namun, tidak ada keterangan pada kisah di atas bahwa hadits innamal a’malu bin niyat (diucapkan oleh Nabi) bertepatan dengan kejadian itu. Aku juga tidak menemukan satupun dalam banyak sanad hadits ini yang menegaskan hal tersebut.” (Fathul Bari 1/10)
Ibnu Rajab rahimahullah dalam kitabnya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/74-75) juga menjelaskan: “Sangat masyhur bahwa kisah Muhajir Ummu Qais adalah sebab diucapkannya hadits “Barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia atau wanita yang akan dia nikahi” banyak orang (ulama) sekarang yang menyebutkan hal itu di kitab-kitab mereka. Namun, kami tidak menemukan keterangan tersebut dalam sanad yang shahih, wallahu a’lam.”
Dari penjelasan Ibnu Hajar dan Ibnu Rajab di atas menjadi jelas bahwa kisah Muhajir Ummu Qais tidak ada kaitannya dengan hadits innamal a’malu bin niyyat ini. Wallahu a’lam.
  
Faedah hadits
1)            Hadits ini adalah hadits pertama yang disebutkan Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya.
2)            Anjuran untuk ikhlas (dalam beramal), karena Allah tidak akan menerima sebuah amalan kecuali jika dibangun di atas dasar muta’ba’ah dan ikhlas. Oleh karena itu, banyak ulama yang memulai karya tulis mereka dengan hadits ini sebagai bentuk teguran bagi pembaca tentang pentingnya meluruskan niat.
Al-Imam Abu Sa’id Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata: “Seandainya aku menyusun sebuah kitab, akan kumulai pada setiap babnya dengan hadits ini.” Beliau juga berkata, “Siapa saja yang ingin menyusun sebuah kitab hendaklah ia mulai dengan hadits ini.”
3)            Bahwa perbuatan apapun yang dapat mendekatkan diri kepada Allah jika dilakukan oleh seorang mukallaf sebagai suatu kebiasaan[9] tidak akan membuahkan pahala, sampai ia benar-benar meniatkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah.
4)            Keutamaan hijrah kepada Allah dan rasul-Nya[10]. Dalam sejarah Islam telah terjadi dua macam hijrah, pertama: berpindah dari negeri yang penuh dengan ketakutan menuju negeri yang penuh keamanan, seperti hijrah ke negeri Habasyah dan hijrah dari Mekkah ke Madinah.
Kedua: hijrah dari negeri kufur menuju negeri Islam, jenis ini berlaku setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tinggal di Madinah. Pada masa rasul, istilah hijrah hanya dikhususkan ke negeri Madinah sampai peristiwa Fathu Makkah. Sehingga yang berlaku adalah hijrah dari negeri kufur ke negeri islam, bagi yang mampu hukumnya wajib.
5)            Dianjurkan bagi seorang ‘Alim memberikan contoh ketika menjelaskan sesuatu agar permasalahan yang ia terangkan mudah dipahami.
 ABU QOTADAH AL-MAIDANY
Admin Warisan Salaf

[1] Yaitu pada no.1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689, 6953.
[2] Hadits ini diriwayatkan juga oleh Abu Daud no.2201, Tirmidzi no.1647, Nasa’i 1/58, 7/13, dan Ibnu Majah no.4227 .
[3] Al-Hafizh Al-‘Iraqi berkata: telah sampai kepadaku berita bahwa Al-Hafizh Abul Hajjaj Al-Mizzi ditanya tentang ucapan Ibnu Mandah ini, maka beliau menganggapnya mustahil. Sungguh, aku (Al-Hafizh Al-‘Iraqi) telah meneliti ucapan Ibnu Mandah ini, ternyata aku menemukan bahwa kebanyakan shahabat yang ia sebutkan haditsnya tentang hal ini, adalah berbicara tentang niat secara umum bukan hadits ini secara khusus. (Tharhu At-Tatsrib 1/357)
[4] ‘Umadatul Qari Syarhu Shahih Al-Bukhari 1/51
[5] Tharhut Tatsrib 1/ 355 dan Jami’ul ‘Ulum wal Hikam dengan Ta’liq Mahir Yasin Fahl
[6] Syarhu Muslim lin Nawawi 6/387
[7] Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra 2/14. Lihat Al-Majmu’ lin Nawawi 1/169, Syarhu Muslim lin Nawawi 7/48, Tharhu At Tatsrib lil ‘Iraqi 2/5, dan Fathul Bari 1/14 .
[8] Lihat Fathu Qawiyil Matin fi Syarhil Arba’in hal.8 , Karya Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad .
[9] Maksudnya: seseorang melakukan suatu perbuatan ibadah karena kebiasaan, bukan karena ingin mendapatkan pahala dari Allah. Masuk juga dalam hal ini seorang yang melakukan sebuah ibadah dengan tujuan kesehatan atau semisalnya, seperti seorang yang berpuasa karena ingin diet.
[10] Keutamaan hijrah juga dijelaskan oleh nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam hadits Amr bin Al-‘Ash. “Tidakkah kamu tahu bahwa islam menghapus dosa sebelumnya, dan hijrah menghapus dosa sebelumnya…” (HR. Muslim, no.192)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar