By
Idrus Shahab
Apabila
maksud pembicara dari sebuah redaksi atau kata-kata yang digunakan di
dalamnya tidak jelas, pada setiap proposisi dan kalimat, maka ia harus
ditelusuri pada indikasi-indikasi (qarâin) yang dapat menjelaskan maksud
dari ucapannya itu. Terkait dengan ayat 23 surah al-Syura “Qul laa
as’alukum ‘alaih ajran illa mawaddata fil qurbah” padanya terdapat
indikasi-indikasi dan tanda-tanda yang membimbing dan membantu kita
untuk memperoleh maksud yang sebenarnya dari firman Allah tentang
al-Qurba.
1. Sesuai penjelasan pakar bahasa, redaksi al-Qur’ba
bermakna kekerabatan dan kedekatan pada nasab (garis keturunan).
Sebagaimana hal ini disebutkan dalam al-Qur’an yang selaras dengan makna
ini. Namun selain yang ayat yang menjadi obyek pertanyaan, pada
ayat-ayat lainnya, pelbagai redaksi “dzi atau “dzawi” atau “uli”
digunakan padanya idhâfa (tambahan dan hubungan). Dengan idhâfa
(tambahan) ini maka kandungan dzawil qurba itu akan bermakna
kekerabatan. Dengan demikian, pada ayat yang menjadi obyek pembahasan
para periset memandang redaksi “ahl” atau “dzawi” dan lainya sebagai
implisit (muqaddar, tidak tercetuskan dalam ucapan atau tulisan).
Dengan
demikian, kita tidak dapat menerima penafsiran bahwa “al-Qurba” itu
bermakna kedekatan kepada Allah atau makna yang lainnya.
2.
Indikasi-indikasi menjadi bukti atas hal ini bahwa maksud kerabat pada
ayat dzawil qurba adalah kerabat nabi dan ayat tidak bermakna bahwa
wajib bagi setiap kaum Muslimin untuk mencintai keluarganya sebagai
ganjaran risalah.
3. Penyebutan kata kerja “laa as’alukum” merupakan petunjuk bahwa maksud dari
“dzawil
qurba” di sini adalah kerabat orang yang bertanya. Dan hal ini adalah
penentuan pemilik kekerabatan melalui jalan penentuan mansub ilahi (yang
disandarkan kepadanya) sebagaimana ayat-ayat 113 surah al-Taubah dan
ayat 7 surah al-Hasyr dapat dijadikan contoh dalam hal ini.
4.
Dengan sedikit menelisik pada ayat-ayat yang terkait dengan upah risalah
maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa maksud dari “al-qurba”
adalah Ahlulbait Nabi Saw; karena al-Qur’an dari satu sisi menegaskan
adanya tuntutan upah dari Nabi Saw dan menafikan adanya tuntutan dari
nabi-nabi lain. Dari sisi kedua, al-Qur’an terkait dengan Nabi Saw
menyatakan: Aku tidak meminta upah dari kalian kecuali kecintaan
(kalian) kepada keluargaku. Dari sisi ketiga, terkabulkanya doa Nabi Saw
dan tuntutan upah risalah. Dari sisi keempat, Allah Swt memerintahkan
kepada Rasul-Nya untuk menyampaikan kepada masyarakat: Upah yang aku
minta dari kalian adalah untuk kalian dan upah dan ganjaranku pada
Tuhan. Dan dengan melampirkan ayat-ayat ini, kita sampai pada kesimpulan
sedemikian bahwa: Dzawil Qurba merupakan jalan Ilahi dan mengayunkan
langkah di jalan Ilahi ini adalah untuk kepentingan manusia (itu
sendiri) dan mengikuti dzawil qurba merupakan contoh nyata penerimaan
seruan Ilahi. Dan pada akhirnya, dari riwayat-riwayat standar dapat kita
simpulkan bahwa: Hanya Ahlulbait Nabi Saw yang menikmati keutamaan
seperti ini.
5. Terdapat banyak riwayat dari Nabi Saw terkait
dengan penafsiran ayat ini dimana yang dimaksud dengan al-qurba di sini
adalah Ahlulbait Nabi Saw.
Penjelasan Detail:
Apabila
maksud pembicara dari sebuah redaksi atau kata-kata yang digunakan di
dalamnya tidak jelas, pada setiap proposisi dan kalimat, maka ia harus
ditelusuri pada indikasi-indikasi (qarâin) yang dapat menjelaskan maksud
dari ucapannya itu. Terkait dengan ayat 23 surah al-Syura “Qul laa
as’alukum ‘alaih ajran illa mawaddata fil qurbah”[1] padanya terdapat
indikasi-indikasi[2] dan tanda-tanda yang membimbing dan membantu kita
untuk memperoleh maksud yang sebenarnya dari firman Allah tentang
al-Qurba.
1. Redaksi “al-Qurba” sesuai dengan penjelasan pakar
bahasa bermakna kedekatan dan kekerabatan pada nasab (garis
keturunan).[3] Dalam al-Qur’an digunakan untuk orang-orang yang memiliki
kedekatan dan kekerabatan, intinya adalah kekerabatan dan kekeluargaan.
Karena itu terkadang redaksi “dzi” yang ditambahkan kepadanya,[4]
terkadang “dzawi” [5] dan terkadang dengan lafaz “uli”.[6] Dan hanya
sekali datang tanpa tambahan (hubungan). Dan yang satu ini merupakan
obyek pertanyaan dalam kesempatan ini “…illla mawaddah fil qurba…”
Dengan demikian lafaz seperti “ahl” [7] atau “dzi” atau “dzawi” dan
sebagainya sebelum redaksi “al-Qurba” disebutkan secara implisit
(muqaddar). Dan makna “al-mawaddah fil qurba”, kecintaan (mawaddah)
kepada kerabat dan keluarga Nabi Saw yaitu Ahlulbait Nabi Saw.
Artinya,
penafsiran sebagian mufassir yang memaknai “qurba” pada ayat di atas
adalah kedekatan kepada Allah Swt,[8] tidak benar adanya.[9] Karena
berasaskan penafsiran ini, redaksi qurba akan bermakna yang mendekatkan
bukan kedekatan dan hal ini berseberangan dengan sesuatu yang
disampaikan oleh pakar bahasa.
Di samping itu, makna sedemikian
akan menyebabkan kekaburan pada ayat. Sebagai kesimpulannya, kaum
musyrikin tidak dapat menjadi obyek bicara ayat. Karena mereka tidak
mengingkari kedekatan kepada Allah, melainkan menyembah berhala-berhala
dan tuhan-tuhan mereka pandang sebagai upaya mendekatkan diri kepada
Tuhan.[10]
Boleh jadi dikatakan bahwa “al-qurba” merupakan
mashdar (derivat) dan mashdar ini bermakna kedekatan dan kekerabatan
bukan bermakna kerabat. Dan “fii” juga bermakna kausatif (sababiyat).
Sesuai dengan pandangan ini, terdapat tiga kemungkinan dalam kandungan
ayat tersebut:
A. Obyek bicara ayat adalah Quraish yang diminta
dari mereka: Apabila kalian tidak beriman kepada Nabi Saw, setidaknya
kalian mecintainya dan tidak mengganggunya karena kekerabatan dan
kedekatan kepadanya.
B. Obyek bicara ayat adalah kaum Anshar dan
diminta untuk mecintai mereka karena kekeluargaan dan kekerabatan Nabi
Saw dengan mereka.[11]
C. Obyek bicara ayat adalah kaum Quraish
dan maksud “al-mawaddah fil qurba” adalah kecintaan Nabi Saw bukan
kecintaan Quraish. Artinya wahai Quraish aku tidak menghendaki upah dari
kalian. Namun kecintaanku kepada kepada kalian karena kekerabatan
kalian kepadaku. Dan hal ini tidak memberikan izin kepadaku untuk
bersikap acuh tak acuh kepada kalian dan kekeluargaanku kepada kalian
menuntutku untuk menghidayai kalian bukan mengambil upah dari kalian.
Ketiga
kemungkinan ini kendati sepintas kelihatan masuk akal dan elok
dipandang mata, namun dengan sedikit lebih teliti maka akan menjadi
jelas bahwa tidak satu pun dari tiga kemungkinan ini benar adanya.
Karena apabila yang dimaksud adalah kafir Quraish, mereka tidak
mengambil apa pun dari Nabi Saw sehingga harus menyerahkan upah. Dan
apabila yang dimaksud adalah orang-orang Quraish yang beriman kepada
Nabi Saw, dalam hal ini kemarahan tidak dapat digambarkan sehingga
dituntut dari mereka untuk melenyapkan kemarahan mereka sebagai upah
risalah, karena itu kemungkinan pertama akan tertolak.
Demikian
juga, persahabat kaum Anshar dengan Nabi Saw sedemikian jelas sehingga
tidak ada pun orang yang tidak tahu tentangnya. Karena itu, tidak ada
maknanya bahwa Nabi Saw meminta mereka untuk mecintainya karena
kekerabatan jauh yang ada di antara mereka. Terlebih orang Arab tidak
terlalu memandang penting kekerabatan dari pihak ibu.[12] Dan Islamlah
yang memberikan perhatian penting terhadap masalah ini. Karena itu,
kemungkinan kedua tidak memiliki landasan rasional yang dapat diterima.
Adapun dalam mengkritisi kemungkinan ketiga dapat dikatakan bahwa:
Apakah kemungkinan ini tidak berseberangan dengan kedudukan Nabi Saw?
Bukankah al-Qur’an berulang kali menegaskan bahwa tugasmu (Muhammad)
hanyalah mengajak. Adapun memberikan petunjuk dan menghidayai itu adalah
tugas Allah Swt dan Nabi Saw tidak boleh bersedih hati karena perlakuan
orang-orang kafir. Bagaimana dapat dipercaya bahwa Nabi Saw karena
kekerabatan, beliau memberikan petunjuk kepada sebagian orang dan
lantaran kemarahan dan ketidaksukaan kepada sebagian lainnya, menghindar
tidak memberikan petunjuk kepada mereka.[13]
2. Kini yang
dimaksud dengan “al-Qurba” telah jelas maka pertanyaan yang mengemuka
sekarang adalah siapa yang dimaksud dengan orang-orang dekat dan para
pemilik kekerabatan dan kedekatan pada garis keturunan? Jawabannya
adalah Ahlulbait Nabi Saw yang merupakan maksud utama ayat ini. Hal itu
dikarenakan:
Pertama, teridentifikasinya mansub ilaihi (yang
disandarkan padanya), merupakan sebuah indikasi untuk menentukan pemilik
kedekatan. Terkadang, mansub ilaihi disebutkan pada ucapan dan hal ini
sendiri dapat menjadi sebuah tanda bahwa siapa yang dimaksud dengan
keluarga dan kerabat. Misalnya dalam al-Qur’an disebutkan “Tiadalah
sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun
(kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik
itu adalah kaum kerabat (mereka), sesudah jelas bagi mereka bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam”. (Qs. Al-Taubah
[9]:113). Penyebutan “Nabi” dan “orang-orang yang beriman” adalah bukti
atas poin ini bahwa yang dimaksud dengan “uli qurba” adalah orang-orang
dekat setiap orang. Atau pada sebuah ayat “Setiap harta rampasan (fay’)
yang diberikan Allah kepada rasul-Nya yang berasal dari penduduk
kota-kota itu adalah untuk Allah, rasul, kerabat rasul”. (Qs. Al-Hasyr
[59]:7) Redaksi “kepada rasul” merupakan indikasi bahwa yang dimaksud
dengan “lidzil Qurba” adalah kerabat dan orang-orang dekat Rasulullah
Saw. Pada ayat “Katakanlah (Wahai Muhammad), “Aku tidak meminta kepadamu
suatu upah pun atas seruanku ini kecuali kecintaan kepada keluargaku”
juga terdepannya kata kerja “aku tidak meminta” merupakan sebuah tanda
bahwa yang dimaksud “al-Qurba” adalah orang-orang dekat yang meminta
(al-sail).[14]
Karena itu pada ayat mawaddah sendiri merupakan
indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud “al-qurba” itu adalah
Ahlulbait dan orang-orang dekat Rasulullah Saw. Dengan demikian ada
kemungkinan bahwa ayat ini menandaskan kecintaan kepada orang-orang
dekat (Rasulullah) dipandang sebagai upah risalah. Dan ayat tersebut
meminta kepada kaum Muslimin untuk mencintai keluarga Rasulullah
Saw.[15]
Kedua, ayat-ayat yang berkenaan dengan upah risalah dalam al-Qur’an termasuk beberapa permasalahan di bawah ini:
A. Menafikan tuntutan upah dan ganjaran dari para nabi[16] demikian juga Rasulullah Saw.[17]
B.
Terkait dengan pribadi Rasulullah Saw disebutkan bahwa: Aku tidak
menginginkan upah dari kalian kecuali kecintaan kepada keluargaku.
C. Juga dijelaskan bahwa: Upahku adalah bagi orang-orang yang menerima seruanku dengan pilihan mereka.[18]
D.
Pada ayat lainnya disebutkan: “Katakanlah, “Upah apa pun yang aku minta
kepadamu, maka itu untuk kamu. Upahku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu”. (Qs. Saba [34]:47)
Dengan
menyandingkan ayat-ayat ini dapat disimpulkan bahwa Rasulullah Saw juga
seperti para nabi yang lainnya, tidak menginginkan upah untuk dirinya
sendiri, melainkan kecintaan kepada Ahlulbaitnya merupakan jalan menuju
ke haribaan Tuhan. Dan sejatinya kecintaan ini adalah untuk manusia itu
sendiri. Karena kecintaan ini merupakan gerbang untuk memasuki masalah
imamah, khilafah, pengganti Rasulullah Saw dan pemberian petunjuk bagi
manusia. Kecintaan ini merupakan perkara berpulang pada masalah
pemenuhan dan ajakan.[19]
Dari satu sisi, “ajr merupakan satu
redaksi yang diperuntukkan baik untuk “ajr duniawi” dan juga “ajr
ukhrawi”. Dan apa yang telah dinafikan pada ayat-ayat ini adalah “ajr
duniawi”. Karena pada ayat-ayat ini disebutkan bahwa aku tidak meminta
upah dari kalian, secara lahir menandaskan pada upah dan ganjaran
duniawi. Dan kehidupan Nabi Saw menjadi bukti dan saksi atas makna
ini[20] bahwa Nabi Saw tidak mengejar upah dan ganjaran duniawi.
Dari
sisi lain, upah dan ganjaran hakiki, mengejewantah ketika memberikan
manfaat bagi yang menerimanya, sementara mawaddah (cinta berlebih, isyq)
dan mahabba (cinta) terhadap dzawilqurba adalah untuk kepentingan
pecinta bukan untuk kepentingan Nabi Saw. Karena kecintaan terhadap
dzawilqurba akan menyebabkan kecintaan, pada kehidupannya mengikuti
dzawilqurba, dan menjadikanyna sebagai teladan dan menjauhkan dirinya
dari perangkap setan.[21]
Karena itu, Nabi Saw tidak menghendaki
upah dan ganjaran duniawi. Dan apabila beliau menghendaki kecintaan
masyarakat kepada dzawilqurba hal ini bukan merupakan upah dan ganjaran
hakiki karena al-Qur’an menegaskan bahwa keuntungan dari kecintaan ini
adalah untuk manusia.
Sekarang kita harus mengajukan pertanyaan
bahwa kecintaan kepada siapa dan mengikuti siapa yang memberikan
keuntungan kepada masyarakat? Dan kecintaan kepada siapa yang merupakan
contoh-contoh terkabulkannya doa Nabi Saw?
Apakah mawaddah dan
mahabbah kepada orang-orang yang ternodai dengan kebodohan dan kesesatan
dapat menjadi faktor penyelamat orang lain? Dan apakah apabila orang
buta yang menuntun orang buta dapat menyampaikan manusia kepada akhir
tujuannya?
Petunjuk Ilahi untuk seluruh manusia merupakan upah
risalah. Tentu saja petunjuk Ilahi ini adalah untuk kepentingan dan
keuntungan manusia. Dan perkara ini juga berada pada pancaran petunjuk
(hidayah) dapat terealisir adalah jiwa dan diri Rasulullah Saw,[22]
pelita hidayah,[23] bahtera keselamatan,[24] gerbang ilmu,[25] jalan
kebenaran dan sebagainya. Dan apakah orang-orang sedemikian bukan lain
Ahlulbait Rasulullah Saw.
Ketiga, terdapat banyak riwayat yang
dinukil oleh kedua mazhab dalam masalah ini secara jelas dan tegas
menjelaskan maksud “al-qurba”, sebagaimana dibawah ini:
1. Hakim
Huskani dalam menjelaskan ayat ini menukil sebuah riwayat yang
menjelaskan siapa saja yang dimaksud dengan “dzawil qurba”[26] Misalnya
Ibnu Abbas berkata: “Tatkala ayat “Katakanlah (Muhammad) Aku tidak
meminta upah atas apa yang kuserukan kecuali kecintaan kepada al-qurba”,
diwahyukan, para sahabat Rasulullah Saw bertanya: Siapakah orang-orang
yang dititahkan Tuhan untuk kami cintai? Rasulullah Saw bersabda: “Ali,
Fatimah, kedua putra dari mereka”.[27]
2. Suyuthi dalam
menafsirkan ayat ini menukil sebuah riwayat dari Nabi Saw yang
menjelaskan: “Maksud ayat ini adalah (hendaknya) kalian menjaga hakku
dan Ahlulbaitku”.[28]
3. Ahmad bin Hanbal dalam Fadhail
al-Shahaba dan Qurthubi dalam menafsirkan ayat (mawaddah) menukil
riwayat dari Nabi Saw dimana yang dimaksud (al-Qurba) adalah “Ali,
Fatimah, dan kedua putranya”.[29]
4. Zamakhsyari[30] dan
Fakhrurazi[31] dengan bersandar pada sebuah riwayat yang dinukil dari
Nabi Saw bahwa ayat “dzawil qurba” dikhususkan kepada “Ali, Fatimah dan
kedua putranya”.
Namun banyak kritikan dan isykalan yang diajukan
terkait dengan penafsiran “al-mawaddah fi al-qurba” bahwa itu bermakna
kecintaan terhadap Ahlulbait As. Di antaranya tidak dapat diterima bahwa
yang dimaksud dengan “al-mawaddah fi al-qurba” adalah Ahlulbait As.
Karena ayat yang disebutkan pada surah Syura dan apakah surah ini
merupakan surah Makkiyah, dimana Fatimah Zahra, Hasan dan Husain belum
atau tidak ada (ketika itu) sehingga kecintaan kepada mereka menjadi
upah risalah!
Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan
bahwa: Pertama, mayoritas penafsir berkata bahwa keempat ayat surah
al-Syura ini merupakan surah Madani bukan Makkiyah. Kedua, banyak
riwayat yang memandang bahwa pewahyuan ayat ini berlangsung di Madinah.
Ketiga, yang menjadi kriteria surah tergolong Makkiyah atau tidak bukan
terletak pada pra hijrah atau pasca hijrah, boleh jadi setelah hijrah
terdapat surah yang diturunkan di Makkah, misalnya para hajjatul widâ’
dan setelah kelahiran Fatimah, Hasan, dan Husain.[32] Untuk menjawab
kritikan dan isykalan ini secara detil kami akan alokasikan pada
kesempatan yang lain. [Indonesia.islamquest.net]
Kami cukupkan
tulisan ringkas ini di sini dan mereka yang tertarik untuk meriset dan
menelaah lebih jauh kami persilahkan untuk merujuk kepada sumber-sumber
di bawah ini:
1. Ihyâ al-Mayyit bifadhâil Ahlulbait, Suyuthi, hal. 8.
2. Al-Shawâiq al-Muhriqah, Ibnu Hajar, hal. 101.
3. Al-Mizân, Allamah Thabathabai, jil. 18, hal. 51-53.
4. Ahlulbait, Maqâmuhum, Manhâjuhum, Masâruhum, hal. 14-19.
5. Payâm-e Qur’ân, Makarim Syirazi, jil. 9, hal. 225-237
6. Tafsir Qurthubi, jil. 8, hal. 5843, jil. 16, hal. 21-22.
7. Tafsir Nemune, jil. 7, hal. 174 dan jil. 11, hal. 369, dan jil. 12, hal. 95.
8. Jami’ al-Bayân, Thabari, jil. 25, hal. 16.
9. Mustadrak al-Shahiain, Hakim Naisaburi, jil. 3, hal. 173.
10. Hilyat al-Awliyâh, Hafiz Abu Nu’aim Isfahani, jil. 3, hal. 201.
11. Dzakhâir al-Uqba’, Muhibuddin Thabari, hal. 138.
12. Ruh al-Ma’âni, jil. 25, hal. 32.
13. Kanz al-‘Ummâl, jil. 1, hal. 118.
14. Majma’ al-Bayân, jil. 9, hal. 28, 29, 50; jil. 7 dan 8, permulaan surah al-Mukmin, hal. 512.
15. Majma’ al-Zawâid, jil. 9, hal. 168.
Catatan Kaki:
____________________________________________________________
[1]
“Katakanlah (Wahai Muhammad), “Aku tidak meminta kepadamu suatu upah
pun atas seruanku ini kecuali kecintaan kepada keluargaku”.
[2]
Indikasi-indikasi (qarain) terdiri dari dua jenis: Indikasi yang
terdapat pada proposisi atau kalimat atau berada di luar namun terpendam
ucapan padanya dimana indikasi semacam ini disebut sebagai indikasi
bersambung (qarinah muttasil). Dan indikasi yang terdapat pada ucapan
dan belum terjamah dan pembicara menyampaikan maksudnya pada kesempatan
lain. Indikasi semacam ini disebut sebagai indikasi terputus (qarinah
munfasil).
[3] Maqaiis al-Lugha menyebutkan: “Fulan dzu qirabati.
Huwa man yaqrub minka rahiman”. Si fulan memiliki kekerabatan. Dia
adalah orang yang dekat kepadamu secara nasab) Dan melanjutkan al-Qurba
wa al-Qirabah be ma’na wahid.” (al-Qurba dan qirabah itu bermakna
tunggal) Lisan al-Arab dalam hal ini menjelaskan: “Qirabah dan qurba
bermakna kekerabatan dalam nasab. Dan yang lain berkata, “al-qurbâ
(keluarga) dalam nasab dan al-qurbatu pada kedudukan. Dan aslinya
keduanya adalah satu. Aqrab al-Mawarid, jil. 2, hal. 978.
[4] “Wa
bil walidain ihsana wa dzil qurba wa al-yatama” (Berbuat baiklah kepada
kedua orang tua, kaum kerabat, anak-anak yatim, Qs. Al-Baqarah [2]:83)
[5]
“Wa ata al-Mal ‘ala hubbihi dzawi qurba wa al-yatama” (Dan para nabi;
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim,
Qs. Al-Baqarah [2]:177)
[6] “Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan
orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi
orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat (mereka)”Qs. Al-Taubah [9]:113)
[7] Zamakhsyari dalam hal
ini menjelaskan: “al-Qurba adalah mashdar sepert zulfa dan al-busyra,
yang bermakna al-qirabah dan maksudnya pada ayat adalah “ahlul qurba”.
Al-Kassyaf, jil. 3, hal 81, terkait surah al-Syura ayat 23.
[8] “Mencintai segala perkara yang mengajak manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan” adalah tafsir atas kandungan ayat ini.
[9]
Namun pandangan ini memiliki isykalan lainnya yang telah dibahas pada
tempatnya, misalnya redaksi mahabat dan mawaddah tidak selaras dengan
makna ini; karena apa yang menyebabkan kedekatan kepada Allah adalah
menunaikan shalat dan sebagianya, bukan (sekedar) mawaddah dan mahabbat
mereka. Di samping itu, memangnya di antara para lawan bicara Nabi Saw
tidak menyukai masalah ini dan ayat diturunkan kepadanya… Silahkan lihat
al-Mizan, jil. 18, hal. 45-46; Tafsir Maudhu’i Payâm-e Qur’ân, jil. 9,
Makarimi Syirazi, hal. 225-237.
[10] Tafsir al-Mizân, Allamah Thaba-thabai, jil. 18, hal. 45-46.
[11] Karena Nabi Saw dari pihak ibu dan dari pihak Salma binti Zain al-Naijariyah memiliki kekerabatan dengan kaum Anshar.
[12] Misalnya orang-orang Arab berkata: Banuna banu abnaina wa banatina.
Banuhunna abna al-rijal al-abai’d
Putra-putra putri kami adalah putra-putra pria asing
[13] Al-Mizân, Allamah Thabathabai, jil. 18, hal. 43-45; Tafsir Maudhu’i Payâm-e Qur’ân, jil. 9, hal. 225-237
[14] Mafâhim al-Qur’ân, Ja’far Subhani, jil. 10, hal. 268-269.
[15]
Kemungkinan ini tidak hanya tidak menyokong ayat ini, namun juga tidak
sejalan dengan upah risalah, memangnya seluruh orang Quraish (sekiranya
obyek ayat ditujukan kepada kaum Quraish) atau seluruh manusia (apabila
obyek ayat ditujukan kepada seluruh manusia) memiliki kekerabatan dengan
orang mukmin kemudian melalui kecintaan kepada mereka harus menyerahkan
upah risalah. Lihat, Al-Mizan, Allamah Thabathabai, jil. 18, hal. 45;
Payam-e Qur’an, jil. 10, hal. 225-237.
[16] “Dan (dia berkata),
“Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepadamu (sebagai upah) bagi
seruanku. Upahku hanyalah dari Allah, dan aku sekali-kali tidak akan
mengusir orang-orang yang telah beriman itu. Hai kaumku, aku tidak
meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku tidak lain hanyalah dari
Allah yang telah menciptakanku”. (Qs, Hud [11]: 29 & 51); “Dan aku
sekali-kali tidak meminta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku
tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Dan sekali-kali aku tidak
meminta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari
Tuhan semesta alam. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas
ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Dan aku
sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain
hanyalah dari Tuhan semesta alam. Dan aku sekali-kali tidak minta upah
kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta
alam”. (Qs. Al-Syuara [26]: 109, 127, 145, 164 dan 180).
[17]
“Katakanlah, “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan
(Al-Qur’an). Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk umat
semesta alam”. (Qs. Al-An’am [6]:90).
[18] “Katakanlah, “Aku
tidak meminta upah sedikit pun kepada kamu dalam menyampaikan risalah
itu, melainkan orang yang mau mengambil jalan menuju Tuhan-nya, (dan
inilah upahku)”. (Qs. Al-Furqan [25]:57).
[19] Al-Mizân, jil. 18, hal. 42-49; Mafâhim al-Qur’an, jil. 10, hal. 261-274; Payâm-e Qur’ân, jil. 9, hal. 225-237.
[20]
Al-Sirah al-Nabawiyah, jil. 1, hal. 293-294; Syaikh Mufid Ra dalam hal
ini berkata: “Perbuatan (amal) harus ditujukan semata untuk Tuhan dan
penuh keikhlasan, dan apa yang dilakukan untuk Tuhan, maka ganjarannya
pada Tuhan bukan pada yang lain. Dan Nabi Saw pada seluruh hidupnya
sendiri demikian adanya”. (Tashih al-I’tiqad, hal. 68).
[21] Imam
Shadiq As dalam sebuah riwayat bersabda: “Maa AhabbaLlah Azza wa Jal
man ‘ashahu” (tidak mencintai Allah orang yang bermaksiat kepada-Nya)
kemudian beliau membacakan syair berikut ini:
Ta’sha Allah wa anta Tuzhir Hubbah
Hadza Muhal fi al-fa’al badi’
Lau kana hubbuka shadiqan laa thatahu
Inna al-mahabbah liman yuhibbu muthi’
Engkau bermaksiat kepada Allah sementara Engkau ungkapkan cinta (kepada-Nya)
Hal ini merupakan sesuatu yang mustahil bagi orang-orang utama
Sekiranya cintamu itu benar adanya maka engkau pasti mentaati-Nya
Sesungguhnya cinta itu mentaati orang yang dicintainya
(Safina al-Bihar, klausul Hubb)
Mahabbah
ditujukan untuk ketaatan dan ketaatan dimaksudkan untuk hidayah dan hal
ini merupakan terjawabnya doa yang disebutkan pada ayat 57, surah
al-Furqan.
[22] Pada ayat Mubâhâlah, Ali disebut sebagai jiwa Nabi Saw.
[23]
“Inna al-Husain misbah al-Huda wa Safinat al-Najâh” (Sesungguhnya
Husain adalah pelita hidayah dan bahtera keselamatan. (Safinah al-Bihar,
jil. 1, hal. 387).
[24] Rasulullah Saw: “Matsal Ahlubaiti fiikum
matsala safinatu Nuh, man Rakibahâ najah” Permisalan Ahlulbaitku bagi
kalian adalah laksana bahterah Nuh, barangsiapa yang menaikinya akan
selamat), Lihat Kanz al-‘Ummâl, jil. 6, hal. 216; Ahlulbait Maqâmuhum,
Manhâjuhum, Masâruhum, hal. 44-46.
[25] Rasulullah Saw bersabda: Ana madinatul Ilm wa ‘Aliyin Bâbuha..(Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya)
[26]
Dalam doa Nudbah disebutkan: Fakanû hum al-Sabil ilaika wa al-maslak
ilaa ridwanik” (Mereka adalah jalan kepada-Mu dan wahana kepada
keridhaan-Mu)
[27] Syawâhid al-Tanzil, jil. 2, hal. 130, 131, 135, 140.
[28] Al-Durr al-Mantsur, jil. 6, hal. 7
[29] Ihqâq al-Haq, jil. 3, hal. 2; Ghâyat al-Marâm, tafsir ayat.
[30] Tafsir al-Kasysyâf, jil. 4, hal. 220-221.
[31] Tafsir Kabir Fakhrurazi, jil. 27, hal. 165-167.
[32] Tafsir Maudhui Qur’ân Karim, Abdullah Jawadi Amuli, jil. 8, hal. 34